REPORT BOOK
“CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY (TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN)”
MATA KULIAH : PENGANTAR
MANAJEMEN
DISUSUN
OLEH
NAMA : ISMAH PRATIWI
NIM :
7133141041
KELAS : E REGULER
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
Kata
Pengantar
Puji dan
syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
ridhoNya saya dapat menyelesaikan tugas report book mengenai “Corporate Social
Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan)” ini. Saya juga berterimakasih kepada ibu dosen yang
telah memberikan bimbingannya dalam penyelesaian tugas ini.
Dalam tugas
ini saya memaparkan mengenai Tanggung Jawab Perusahaan dan Etika Bisnis,
Perkembangan Corporate Social Responsibility, Manajemen Para Pemangku
Kepentingan, Corporate Social Responsiveness, Corporate Citizenship, Corporate
Social Performance, Corporate Governance, Perencanaan,Implementasi dan Evaluasi
Program CSR, Pelaporan Program CSR, Pelaksanaan CSR : Konteks Indonesia.
Saya
menyadari bahwa didalam tugas ini masih banyak kekurangan oleh sebab itu saya
meminta maaf apabila terdapat kata, penjelasan, dan hal-hal lain yang tak berkenan
atau masih kurang sempurna. Akhir kata saya ucapkan terima kasih . Semoga dapat
bermanfaat bagi yang membacanya.
Medan, Mei 2014
Ismah
Pratiwi
BAB
I
PENDAHULUAN
Sekitar 50 tahun yang lalu,
H.R. Bowen berpendapat bahwa para pelaku bisnis memiliki kewajiban untuk
mengupayakan suatu kebijakan serta membuat keputusan atau melaksanakan berbagai
tindakan yang sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat (Wartrick dan
Cochran,1985). Pendapat Bowen tersebut telah memberikan kerangka dasar bagi
pengembangan konsep tanggung jawab sosial (social
responsibility).
Sebagaimana ditekankan oleh
Bowen, kewajiban atau tanggung jawab sosial dari perusahaan bersandar kepada
keselarasan dengan tujuan (objectives)
dan nilai-nilai (values) dari
masyarakat. Kedua hal yang telah disebutkan oleh Bowen yakni keselarasan dengan
tujuan dan nilai-nilai masyarakat merupakan dua premis dasar tanggung jawab
sosial.
Premis pertama,
perusahaan bisa mewujud dalam suatu masyarakat karena adanya dukungan dari
masyarakat. Oleh sebab itu, perilaku perusahaan dan cara yang digunakan
perusahaan saat menjalankan bisnis harus berada dalam bingkai pedoman yang
ditetapkan masyarakat. Dalam hal ini, seperti halnya pemerintah, perusahaan
memiliki kontrak sosial yang berisi sejumlah hak dan kewajiban. Kontrak sosial
itu akan mengalami perubahan sejalan dengan perubahan kondisi masyarakat.
Namun, apapun perubahan yang terjadi, kontrak sosial tersebut tetaplah
merupakan dasar bagi legitimasi bisnis. Kontrak sosial ini pula yang akan
menjadi wahana bagi perusahaan untuk menyesuaikan berbagai tujuan perusahaan
dengan tujuan-tujuan masyarakat yang pelaksanaannya dimanifestasikan dalam
bentuk tanggung jawab perusahaan. Premis
kedua, bahwa pelaku bisnis bertindak sebagai agen moral dalam suatu
masyarakat. Pembuatan keputusan yang dilakukan oleh pimpinan dengan posisi
puncak di perusahaan senantiasa melibatkan pertimbangan nilai atau mencerminkan
nilai-nilai yang dimiliki oleh manajemen puncak. Oleh sebab itu, agar terjadi
keselarasan antara nilai yang dimiliki perusahaan dengan nilai yang dimiliki
masyarakat, perusahaan harus berperilaku sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.
Premis kedua ini memuat dimensi etika dari tanggung jawab sosial.
BAB
II
PEMBAHASAN
Identitas
Buku
Judul buku :
Corporate Social Responsibility : from Charity to Sustainability
Penulis :
Ismail Solihin
Penerbit :
Salemba Empat
Tahun Terbit :
2009
Kota Terbit :
Jakarta
Tebal Buku :
216 halaman
Ukuran :
15,5 x 24 cm
ISBN :
978-979-061-038-5
A.
Tanggung Jawab Perusahaan dan Etika Bisnis
Dalam buku ini terdapat
beberapa definisi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan menurut para ahli
yaitu salah satunya menurut Friedman, tanggung jawab sosial perusahaan adalah
menjalankan bisnis sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan yaitu dengan
memaksimalkan laba. Bahkan Friedman memandang
para manajer yang memiliki pendapat bahwa pimpinan perusahaan memiliki
tanggung jawab sosial terhadap masyarakat secara luas merupakan manajer yang tidak sejalan dengan keinginan
pemegang saham. Dengan demikian Friedman menyimpulkan bahwa jika perusahaan
menggunakan retorika CSR, maka konsepsi CSR tersebut harus diartikan sebagai salah
satu strategi perusahaan untuk memaksimalkan laba.
Corporate Social
Responsibility merupakan salah satu dari beberapa tanggung jawab perusahaan
kepada para pemangku kepentingan (stakeholders).
Ada 2 kategori stakeholders yaitu :
Ø
Inside stakeholders misalnya pemegang saham, manajer, dan karyawan
Ø
Outside stakeholders misalnya pelanggan, pemerintah, masyarakat lokal dan
umum
Menurut Post (2002:69) ada 3 jenis tanggung jawab
yaitu :
Ø
Economic Responsibility, yaitu perusahaan harus bertanggung jawab dalam hal
ekonomi kepada para pemegang saham (pembagian laba) dan para kreditor
(pembayaran cicilan pinjaman dan bunga pinjaman).
Ø
Legal Responsibility, yaitu dalam hal ini perusahaan harus mematuhi berbagai
peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah ataupun para
penegak hukum.
Ø
Social Responsibility, yaitu kegiatan CSR harus merupakan komitmen perusahaan
yang secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas namun
sangat tidak tepat apabila CSR yang dilakukan oleh perusahaan hanya menjadi
semacam kosmetik untuk menyembunyikan praktik perusahaan yang tidak baik.
Etika bisnis merupakan
penerapan etika secara umum terhadap perilaku bisnis atau lebih khusus lagi
makna etika bisnis menunjukkan perilaku etis maupun tidak etis yang dilakukan
manajer dan karyawan dari suatu organisasi perusahaan (Griffin dan Ebert,
1999:82)
B.
Perkembangan Corporate Social Responsibility
Menurut Robbins dan Coulter
(2003: 123), perkembangan CSR ada 4 tahap yaitu : Tahap pertama perusahaan
memiliki pandangan bahwa mereka tidak memiliki tanggung jawab sosial kepada
masyarakat secara luas. Tahap kedua, perusahaan mulai mengembangkan CSR nya
kepada pekerja. Tahap ketiga, perusahaan mulai mengembangkan CSR kepada
masyarakat setempat yang terkena dampak langsung oleh operasional perusahaan.
Tahap keempat, perusahaan tidak hanya mengembangkan CSR kepada masyarakat
setempat melainkan mencakup masyarakat luas, pada tahap ini para manajer telah
merasa bertanggung jawab untuk melakukan kebajikan kepada publik.
Terdapat tiga periode penting dalam perkembangan CSR didunia
yaitu :
Ø
Perkembangan
awal konsep CSR di era tahun 1950-1960an.
Konsep awal CSR dikemukakan oleh Howard R. Bowen. Pada saat itu pemimpin
perusahaan mengindahkan prinsip derma (charity
principle) yang berarti pemberian yang sebagian besar berasal dari
kesadaran pribadi pemimpin perusahaan untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat
baik yang didorong karena keyakinan keagamaan maupun dengan motif lainnya. Dan
prinsip perwalian (stewardship principle)
yang berarti perusahaan telah dipercaya oleh masyarakat sebagai wali untuk
mengelola sumber daya.
Ø
Perkembangan
konsep CSR periode tahun 1970-1980an.
Pada periode ini Commite for
Economic Development (CED) yang dibentuk oleh Amerika membagi tanggung
jawab sosial perusahaan kedalam tiga lingkaran yaitu Lingkaran Tanggung Jawab Terdalam yang mencakup tanggung jawab
perusahaan untuk melaksanakan fungsi ekonomi yang berkaitan dengan produksi
serta pertumbuhan ekonomi. Lingkaran
Tanggung Jawab Pertengahan yang mencakup tanggung jawab untuk melaksanakan
fungsi ekonomi yang memiliki kepekaan kesadaran terhadap perubahan nilai-nilai
dan prioritas-prioritas sosial. Lingkaran
Tanggung Jawab Terluar yaitu mencakup kewajiban perusahaan untuk lebih
aktif dalam meningkatkan kualitas lingkungan sosial.
Pada periode ini juga Carrol (1979) menyatakan bahwa komponen tanggung
jawab sosial perusahaan dibagi kedalam empat kategori yaitu economic responsibilities, ethical
responsibilities, legal responsibilities, discretionary responsibilities
atau disebut dengan Corporate Social
Performance (CSP).
Ø
Perkembangan
konsep CSR periode tahun 1990-an sampai saat ini.
Pada
awal periode ini The Bruntland Comission mengenalkan konsep Sustainability Development bahwa konsep
ini dibangun atas tiga pilar yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ini berarti
bahwa dibentuk untuk mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber
daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial.
C.
Manajemen Para Pemangku Kepentingan
Dill (Bourgeois,1980) menyatakan bahwa lingkungan
perusahaan ada 2 kategori yaitu : (1) lingkungan umum (general environment) yaitu terdiri atas berbagai kekuatan di
lingkungan perusahaan yang akan mempengaruhi perusahaan didalam merumuskan
strategi korporasi. (2) lingkungan tugas (task
environment) yaitu terdiri atas berbagai kekuatan yang dapat mempengaruhi
perusahaan dalam merumuskan tingkat bisnisnya.
Duncan (Tung, 1979:673) menyatakan bahwa ada 2
kategori lingkungan perusahaan yaitu : (1) lingkungan eksternal, yang terdiri
atas berbagai kekuatan diluar organisasi perusahaan seperti pesaing, pemasok,
kebijakan pemerintah, kondisi perekonomian dan politik. (2) lingkungan
internal, yang terdiri atas berbagai kekuatan didalam organisasi perusahaan
seperti tujuan, strategi, proses bisnis internal, SDM yang dimiliki perusahaan.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pemangku
kepentingan adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi pencapaian
tujuan mereka yang dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan pada saat perusahaan
mengejar tujuannya. Yang termasuk dalam pemangku kepentingan yaitu kelompok
kepentingan publik, kelompok yang melakukan aktivitas protes, pegawai
pemerintah, asosiasi perdagangan, pesaing, serikat pekerja dan karyawan,
pelanggan, serta pemegang saham.
Berman, Wicks, Kotha, dan Jones (1999:488-494)
mengidentifikasikan 2 model dalam manajemen para pemangku kepentingan yaitu :
(1) strategic stakeholders management
model, yaitu didasari oleh suatu asumsi bahwa tujuan paling akhir dari
suatu korporasi adalah keberhasilannya di pasar sehingga perusahaan harus
mengelola para pemangku kepentingan sebagai bagian dari lingkungan perusahaan
untuk memastikan agar perusahaan memperoleh pendapatan dan laba sesuai dengan
target yang telah ditentukan. (2) intrinsic
stakeholders commitment model, yaitu bahwa perusahaan menetapkan
prinsip-prinsip moral tertentu yang bersifat sangat mendasar dan bukan
mendasarkan keinginan perusahaan untuk memanfaatkan para pemangku kepentingan
untuk mencapai tujuan perusahaan yakni maksimalisasi laba.
Menurut Fotler et
al. (1989: 527) langkah-langkah penerapan manajemen para pemangku
kepentingan ada 3 yaitu :
Ø
Identifikasi
Para Pemangku Kepentingan, ada 3 jenis para pemangku kepentingan yaitu internal stakeholders, interface
stakeholders, dan external stakeholders.
Ø
Menetapkan
Pemangku Kepentingan yang Relevan dalam Pembuatan Strategi.
Ø
Perumusan
Kebijakan Dan Strategi Manajemen Para Pemangku Kepentingan.
Potensi ancaman maupun kerjasama yang ditunjukkan para
pemangku kepentingan terhadap organisasi/perusahaan sangat dipengaruhi oleh
tingkat ketergantungan suatu pihak terhadap pihak lain. Tipe pemangku
kepentingan berdasarkan potensi ancaman dan kerjasama ada 4 tipe yaitu :
Ø
The Supportive Stakeholders, yaitu pemangku kepentingan yang mendukung berbagai
tujuan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan.
Ø
The Marginal Stakeholders, yaitu pemangku kepentingan yang memiliki potensi
ancaman dan potensi kerja sama yang rendah.
Ø
The Nonsupportive Stakeholders, yaitu pemangku kepentingan yang paling memberi tekanan
terhadap organisasi/perusahaan.
Ø
The Mixed Blessing Stakeholders, yaitu pemangku kepentingan yang memiliki potensi
ancaman tinggi terhadap perusahaan tetapi juga memiliki potensi kerja sama yang
tinggi.
D.
Corporate Social Responsiveness
Frederick (1994 :154)
mendefinisikan bahwa corporate social responsiveness menunjukkan kapasitas
suatu korporasi dalam memberikan respon terhadap tekanan sosial. Tindakan yang
nyata sebagai suatu tanggapan atau untuk memperoleh bentuk tanggapan secara
umum bagi masyarakat merupakan fokus dari konsep corporate social responsiveness.
Carrol (1979) menganggap
bahwa konsep corporate social
responsiveness sebagai perbaikan dan melengkapi dari konsep CSR lebih logis
karena perusahaan bisa saja bertindak sangat responsive untuk menanggapi suatu
isu sosial tetapi tanpa adanya rambu-rambu etika dan moral yang dinyatakan
dalam konsep CSR, tanggapan yang dilakukan perusahaan tersebut bisa jadi sangat
tidak bertanggung jawab secara moral.
Berikut perbedaan antara
Social Responsibility dengan Social Responsiveness :
Social Responsibility
|
Social Responsiveness
|
|
Pertimbangan Utama
|
Etis
|
Pragmatis
|
Unit Analisis
|
Masyarakat
|
Perusahaan
|
Fokus
|
Akhir
|
Alat
|
Tekanan
|
Obligasi
|
Respons
|
Peraturan Perusahaan
|
Agen Moral
|
Produsen Barang Dan Jasa
|
Kerangka Kerja Keputusan
|
Jangka Panjang
|
Jangka Pendek Dan Menengah
|
Tahap-Tahap Corporate Social
Responsiveness yaitu :
Ø
Tahap
Kebijakan (Policy Stage), pada tahap
awal ini yaitu bagaimana perusahaan membuat kebijakan untuk menghadapi suatu
isu sosial.
Ø
Tahap
Belajar (Learning Stage), pada tahap
ini perusahaan membutuhkan dua tahap belajar yaitu specialized learning atau technical
learning dan administrative Learning.
Ø
Tahap
Komitmen Organisasi (The Organizational Comitment Stage), pada tahap ini
perusahaan telah melakukan internalisasi terhadap bernagai masakah social yang
ada di lingkungan perusahaan dengan menjadikan masalah social yang ada di
lingkungan perusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan
perusahaan.
Menurur Beliveau et
al, ada tiga perspektif pendekatan yang dapat menerangkan fenomena corporate social responsiveness yaitu :
(1) Perspektif Institusional, dilakukan
ketika institusi perusahaan dan para manajer yang mengelolanya mengalami
kesesuaiandengan lingkungan perusahaan atau secara lebih spesifik dengan
jarring-jaring hubungan social yang melingkupi perusahaan. (2) Perspektif Ekonomi, yaitu bahwa
aktivitas corporate social responsiveness
sangat berhubungan erat dengan keuangan perusahaan. Perusahaan yang tidak
mendapatkan aliran dana masuk yang cukup dari perusahaan maka tidak akan
memiliki modal yang memadai untuk melaksanakan aktivitas corporate social
responsiveness. (3) Perspektif Reputasi
Manajerial, keterlibatan manajer dalam kegiatan corporate social responsiveness akan turut meningkatkan reputasi
manajer di mata publik.
E.
Corporate Citizenship
Menurut Wood et
al bahwa pada dasarnya konsep corporate
citizenship merupakan mekanisme untuk menyeimbangkan orientasi nilai
perusahaan dari orientasi nilai yang lebih bersifat self interest menjadi orientasi nilai yang memperhatikan pula
kepentingan publik (sebelumnya menjadi domain bagi kegiatan pemerintah
semata-mata.). Sebagai salah satu ciri penting dari kegiatan ini yaitu adanya
bentuk keterlibatan perusahaan dalam berbagai masalah komunitas, dimana salah
satu tujuan keterlibatan perusahaan dalam masalah komunitas tersebut adalah
untuk melakukan pengembangan ekonomi masyarakat.
Parsons menjelaskan bahwa ada 4 institusi yang
mempengaruhi pelaksanaan corporate
citizenship yaitu : institusi ekonomi (tingkat persaingan usaha), institusi
politik (peraturan-peraturan disuatu Negara), institusi sosial (lingkungan para
pemangku kepentingan), institusi budaya (nilai-nilai masyarakat). Secara
institusional, pelaksanaan corporate citizenship sangat ditentukan oleh
lingkungan eksternal perusahaan yang akan mendukung atau menghalangi program
tanggung jawab sosial perusahaan maupun kebijakan perusahaan mengenai
keberlangsungan operasi perusahaan.
Davenport (2000) menyatakan bahwa ada tiga aspek yang
menjadi ciri suatu usaha dapat dikategorikan sebagai good corporate citizenship yaitu : (1) Perilaku bisnis yang etis,
(2) Komitmen kepada para pemangku kepentingan, (3) Komitmen terhadap lingkungan
hidup.
Menurut Logsdon dan Wood (2005), global corporate citizenship adalah perusahaan multinasional yang
memiliki tanggung jawab mengimplesentasikan kewajibannya bagi berbagai individu
dan masyarakat yang berada didalam maupun diluar batas Negara dan lintas
budaya. Atribut dalam global corporate
citizenship ada 3 yaitu :
Ø
Orientation,
yaitu kepada siapa nilai-nilai dan prinsip ini diterapkan.
Ø
Implementation,
yaitu menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh karyawan ,
kewajiban yang dimiliki perusahaan, dan bagaimana perusahaan menyelesaikan
suatu permasalahan bila masalah tersebut timbul.
Ø
Akuntabilitas,
yaitu menunjukkan kewajiban perusahaan untuk menyajikan informasi yang akurat dan
relevan mengenai pelaksanaan global
corporate citizenship kepada berbagai pihak yang dianggap memilik hak untuk
mengetahui informasi tersebut.
F.
Corporate Social Performance
Menurut Wood (1991), CSP adalah suatu konfigurasi
prinsip-prinsip tanggung jawab sosial, proses social responsiveness serta
berbagai kebijakan, program, dan hasil-hasil yang bias diobservasi sebagai
hasil dari hubungan social yang dilakukan perusahaan.
Menurut Wood, dimensi model Corporate Social Performance ada 3 yaitu : principle of corporate social
responsibility, process of corporate
social responsiveness, dan outcomes of corporate behavior (hasil perilaku
perusahaan).
BAB VII : Corporate Governance
Corporate governance adalah suatu system untuk mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan. Struktur corporate
governance menetapkan distribusi hak dan kewajiban diantara berbagai pihak
yang terlibat dalam suatu korporasi seperti dewan direksi, para manajer, para
pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya.
Menurut Becht et
al (2002), terdapat 6 alasan yang mendorong Good Corporate Governance yaitu :
Ø
Munculnya
gelombang privatisasi di seluruh dunia.
Ø
Reformasi
dana pensiun.
Ø
Merger
dan pengambilalihan perusahaan.
Ø
Deregulasi
dan integrasi pasar modal.
Ø
Krisis
ekonomi Asia Timur, Rusia, dan Brasil.
Ø
Berbagai
skandal yang menimpa perusahaan besar.
Menurut Tim Studi Pengkajian Prinsip-Prinsip OECD 2004
(2006:10-11) bahwa terdapat dua teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan
konsep corporate governance yaitu :
Ø
Stewardship theory, memandang manajemen sebagai pihak yang dapat dipercaya
untuk bertindak sebaik-baiknya bagi kepentingan public pada umumnya dan para
pemangku kepentingan khususnya.
Ø
Agency theory, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agen bagi
para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya
sendiri bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap
pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam
stewardship theory.
Terdapat tiga model dalam corporate governance yaitu :
Ø
Traditional model, yaitu suatu perusahaan didasarkan atas hak
kepemilikan, adanya pemegang saham sebagai pemegang kendali atas perusahaan.
Ø
Co-determination model, yaitu modal (yang berasal dari pemegang saham) dan
tenaga kerja sama-sama berperan dalm corporate governance
Ø
Stakeholder model, yaitu adanya pihak lain dalam masyarakat yang
merupakan tanggung jawab perusahaan jika operasi perusahaan memiliki dampak
terhadap pihak tersebut.
Prinsip-prinsip corporate
governance yaitu transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, indenpendensi, serta kewajaran dan kesetaraan.
Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan corporate
governance yaitu :
Ø
Faktor
eksternal, seperti lemahnya regulasi yang mengatur corporate governance.
Ø
Faktor
internal, yaitu adanya konflik kepentingan antara kepentingan direksi dan
manajer perusahaan sebagai agent dari
pemegang saham dengan kepentingan para pemegang saham.
Bentuk-bentuk kepentingan pribadi direksi dan manajer
yang dapat mengakibatkan kegagalan penerapan corporate governance yaitu :
Ø
Maximizing growth not earnings, bahwa para pemegang saham pada umumnya ingin
melakukan maksimalisasi earnings,
sedangkan para manajer pada umumnya ingin maksimalisasi ukuran perusahaan.
Ø
Diversifying risk, yaitu para pemegang saham menginginkan portofolio
saham yang akan menghasilkan profil risiko atau pengembalian tertentu.
Ø
Managerial entrenchment, yaitu manajer sering kali melakukan pengembangan usaha
yang dianggap sesuai dengan latar belakang keahlian yang mereka miliki sehingga
akan menjadikan pengelolaan perusahaan menjadi tidak optimal.
Ø
Managerial enrichment, yaitu manajer memiliki peluang untuk hanya
memperhatikan kepentingannya sendiri dan memperkaya diri sendiri serta
mengabaikan maksimalisasi laba bagi pemegang saham karena adanya pemisahan
antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan.
BAB
VIII : Perencanaan, Implementasi, Dan Evaluasi Program CSR
Perencanaan merupakan awal kegiatan penetapan dari
berbagai hasil akhir yang ingin dicapai oleh perusahaan yang meliputi strategi,
kebijakan, prosedur, program, dan anggaran yang diperlukan untuk mencapai
tujuan tersebut.
Kotler dan Lee (2006) menyebutkan ada enam kategori
program CSR yaitu :
Ø
Cause Promotion, dalam program ini perusahaan menyediakan dana atau
sumber daya lainnya yang dimiliki perusahaan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap suatu masalah social atau untuk mendukung pengumpulan dana,
partisipasi dari masyarakat, atau perekrutan tenaga sukarela untuk suatu
kegiatan tertentu.
Ø
Cause Related Marketing, dalam program ini perusahaan memiliki komitmen untuk
menyumbangkan persentase tertentu dari penghasilannya untuk suatu kegiatan
social berdasarkan besarnya penjualan produk.
Ø
Corporate social marketing, dalam program ini perusahaan mengembangkan dan
melaksanakan kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat dengan tujuan
meningkatkan kesehatan dan keselamatan publik, menjaga kelestarian lingkungan
hidup, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ø
Corporate philantrophy, dalam program ini perusahaan memberikan sumbangan
langsung dalam bentuk derma untuk kalangan masyarakat tertentu.
Ø
Community Voulunteering, dalam program ini perusahaan mendukung serta mendorong
para karyawan, para pemegang franchise atau
rekan pedagang eceran untuk menyisihkan waktu mereka secara sukarela guna
membantu organisasi-organisasi masyarakat local maupun masyarakat yang menjadi
sasaran program.
Ø
Socially Responsible Business Practice, dalam program ini perusahaan melaksanakan aktivitas
bisnis melampaui aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum serta melaksanakan
investasi yang mendukung kegiatan social dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan komunitas dan memelihara lingkungan hidup.
Pelaksanaan program CSR melibatkan beberapa pihak
yaitu perusahaan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi,
tokoh-tokoh masyarakat, serta calon penerima manfaat CSR. Beberapa kondisi yang
akan menjamin terlaksananya implementasi program CSR dengan baik yaitu :
Ø
Kondisi
pertama, implementasi CSR memperoleh persetujuan dan dukungan dari para pihak
yang terlibat.
Ø
Kondisi
kedua, ditetapkannya pola hubungan diantara pihak-pihak yang terlibat secara
jelas.
Ø
Kondisi
ketiga, adanya pengelolaan program yang baik.
Pengawasan dan evaluasi CSR diperlukan untuk
mengetahui sudah sejauh mana pencapaian tujuan program serta apakah terdapat
penyimpangan yang membutuhkan tindakan koreksi.
BAB IX : Pelaporan Program CSR
Jenis
dampak operasi perusahaan yaitu :
Ø
Dampak
ekonomi, GRI mengelompokkan dua jenis dampak ekonomi yaitu dampak ekonomi
langsung (perubahan potensi produktif dari kegiatan ekonomi yang dapat
mempengaruhi kesejahteraan komunitas dan prospek pembangunan dalam jangka
panjang) dan dampak ekonomi tidak langsung (konsekuensi tambahan yang muncul
sebagai akibat pengaruh langsung transaksi keuangan dan aliran uang antara
organisasi dan para pemangku kepentingannya.
Ø
Dampak
Lingkungan, GRI menyatakan dampak operasi perusahaan terhadap lingkungan
menjadi 3 struktur yaitu yang diakibatkan oleh pemakaian input produksi
(energi, air, dan material), output produksi (emisi, dan limbah), dan yang
diakibatkan oleh perusahaan (transportasi serta produk dan jasa yang dihasilkan
perusahaan yang memberikan dampak lanjutan terhadap lingkungan.
Ø
Dampak
Sosial, yakni hak asasi manusia (human
rights), tenaga kerja (labor),
masyarakat (society), serta tanggung
jawab produk (product responsibility).
BAB
X : Pelaksanaan CSR : Konteks Indonesia
Perkembangan CSR untuk konteks Indonesia dapat dilihat
dari dua perspektif yaitu :
Ø
Pelaksanaan
CSR memang merupakan praktik bisnis secara sukarela artinya pelaksanaan CSR
lebih banyak berasal dari inisiatif perusahaan dan bukan merupakan aktivitas
yang dituntut untuk dilakukan perusahaan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Negara Republik Indonesia.
Ø
Pelaksanaan
CSR bukan lagi discretionary business
practice (secara sukarela) melainkan pelaksanaannya sudah diatur oleh
undang-undang.
Aktivitas CSR sebagai discretionary business practice di Indonesia dibagi dalam 2
kelompok yaitu : (1) pelaksanaan CSR sebagai discretionary business practice oleh perusahaan multinasional
seperti Coca cola dan Unilever. (2) pelaksanaan CSR oleh perusahaan domestik
harus mengalami proses belajar lebih panjang dalam merancang dan melaksanakan
aktivitas CSR karena perusahaan-perusahaan ini pada umumnya belum memiliki
pengalaman yang banyak dalam mengelola aktivitas CSR.
Alasan-alasan perusahaan multinasional lebih siap
dalam melaksanakan CSR daripada perusahaan domestik adalah sebagai berikut :
1)
Perusahaan
multinasional telah memiliki kebijakan yang menyangkut pelaksanaan CSR baik
disebabkan oleh proses belajar maupun akibat kebutuhan untuk mempertahankan
reputasi perusahaan.
2)
Perusahaan
multinasional telah melakukan proses belajar yang relatif panjang dalam
mengelola program CSR.
3)
Perusahaan
multinasional berasal dari Negara-negara maju yang memiliki kesadaran terhadap sustainable development lebih tinggi
disbanding Negara-negara berkembang.
4)
Perbedaan
mind set yang diduga memiliki
pengaruh terhadap komitmen manajemen dalam melaksanakan program CSR.
Pelaksanaan CSR oleh BUMN memiliki karakteristik
berbeda dengan korporasi yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak swasta. Selain
melekat tujuan perusahaan untuk memaksimalisasi laba, perusahaan juga dituntut
untuk memberikan layanan kepada publik. Pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh
usaha kecil dan menengah pada umumnya masih berkisar pada pembukaan lapangan
kerja bagi masyarakat disekitarnya selain itu usaha kecil dan menengah pada
umumnya memberikan charity (infak dan
zakat) setiap tahun kepada masjid-masjid dan masyarakat kurang mampu yang
berdekatan dengan tempat perusahaan beroperasi.
DAFTAR PUSTAKA
Solihin, Ismail. (2009). Corporate
Social Responsibility from Charity to Sustainability. Jakarta: Salemba
Empat.
No comments:
Post a Comment