MAKALAH
“FAKTOR
HORIZONTAL SEBAGAI SUMBER KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK”
DISUSUN OLEH
NAMA : ISMAH PRATIWI
NIM : 7133141041
KELAS : E REGULER
JURUSAN
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
BAB I : PENDAHULUAN
Menurut J.S. Furnivall masyarakat
majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai
kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga
para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai
keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki
dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Dalam
pelajaran sejarah, kita telah mengetahui bahwa nenek moyang bangsa Indonesia
sekarang ini berasal dari Yunan, yaitu suatu wilayah di Cina bagian selatan
yang pindah ke pulau-pulau
di Nusantara. Perpindahan ini terjadi secara bertahap dalam waktu dan jalur
yang berbeda. Ada kelompok mengambil jalur barat melalui selat Malaka menuju
pulau Sumatera dan Jawa. Sedangkan kelompok lainnya mengambil jalan ke arah
timur, yaitu melalui kepulauan Formosa atau Taiwan, di sebelah selatan Jepang, menuju
Filipina dan kemudian meneruskan perjalanan ke Kalimantan. Dari Kalimantan ada
yang pindah ke Jawa dan sebagian lagi ke pulau Sulawesi. Perbedaan jalur perjalanan, proses
adaptasi di beberapa tempat persinggahan yang berbeda, dan perbedaan pengalaman
serta pengetahuan itulah yang menyebabkan timbulnya perbedaan terutama agama, suku, bahasa daerah, adat istiadat,
dan budaya material.
Ikatan-ikatan primordial
seperti ikatan agama, suku, bahasa daerah, adat istiadat, dan budaya material
dapat menjadi masalah krusial apabila masing-masing kelompok menggunakan
kerangka budaya mereka sendiri dalam berkomunikasi dan bermasyarakat. Ini
memberikan isyarat bahwa primordialisme horizontal memiliki potensi konflik
yang dapat mengarah kepada disintegrasi nasional. Oleh karena itu upaya yang
diperlukan untuk mengantisipasi hal yang demikian ialah dengan menerapkan
strategi kebudayaan yang dinamis dan berkelanjutan.
BAB II : PEMBAHASAN
Majemuk
memiliki makna sesuatu yang beragam, sesuatu yang memilik banyak perbedaan
begitupun dengan masyarakat Indonesia. Indonesia terkenal dengan kemajemukannya
maka dari itu Indonesia sering disebut sebagai masyarakat yang bhineka tungal
ika yang memiliki makna bahwa meskipun masyarakatnya memiliki perbedaan atau
kemajemukan namun tetap satu jua.
Sumber konflik dalam kemajemukan masyarakat dapat diklasifikasikan melalui dua kategori yaitu :
v
Faktor
horizontal, pemahaman ini didasarkan pada fakta yang menunjukkan adanya
satuan-satuan sosial
yang keragamannya dicirikan oleh perbedaan etnis atau suku dan ras, bahasa daerah, adat-istiadat, agama, dan budaya material.
v
Faktor
vertikal, pemahaman ini didasarkan pada
perbedaan-perbedaan yang bersifat vertikal yaitu bahwa perbedaan dari unsur-unsur
yang membuat keragaman tersebut dapat diukur berdasarkan kualitas atau kadarnya
misalnya dari aspek ekonomi,
pendidikan, pemukiman, pekerjaan, dan kedudukan sosio-politik.
Berdasarkan klasifikasi diatas, penjelasan dari sumber
konflik yang berasal dari faktor horizontal yaitu sebagai berikut :
A.
KONFLIK BAHASA DAERAH
Bahasa
daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah
Negara. Indonesia memiliki suku bangsa yang
terbanyak di dunia. Yaitu terdapat lebih dari 740 suku bangsa atau etnis,
bahkan di Papua saja terdapat 270 suku. Dengan jumlah suku sebanyak itu
menjadikan Indonesia
memiliki bahasa daerah terbanyak, yaitu 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa
induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Adanya
perbedaan bahasa yang digunakan oleh beberapa suku bangsa dapat diketahui apabila mereka
menggunakannya dengan sesamanya.
Konflik
bahasa daerah salah satunya yaitu yang terjadi pada seorang guru bahasa
Indonesia asal Jawa Tengah yang mendapat tugas untuk mengajar didaerah
pedalaman Papua selama beberapa tahun mengalami sedikit kesalahpahaman dalam
penyesuaian diri dengan bahasa setempat di awal masa pengabdiannya. Sebut saja
namanya ibu Widya . Suatu sore menjelang magrib, ketika baru sebulan menetap
disana, putra ibu Widya masih asyik bermain dengan temannya yang asli Papua
bernama Denias, sebelum beliau pulang, ibu Denias berpesan kepada Bu Widya
untuk menyuruh anaknya pulang. Saat memasuki halaman rumahnya, Bu Widya berkata
“Hei, kau dipanggil mama kau” lalu Denias pulang kerumahnya. Tetapi tak lama,
anak itu kembali bersama ibunya. Bu Widya bingung, beliau menyuruh Denias
pulang karena dipanggil ibunya, tapi dia malah kembali bersama ibunya. Setelah
dijelaskan oleh tetangganya tersebut, Bu Widya baru mengerti jika di Papua,
mereka menggunakan system MD(menjelaskan dijelaskan) seperti dalam bahasa
Inggris. Jadi ketika Bu Widya menyuruh Denias untuk pulang karena dipanggil
ibunya, dia mengira bahwa beliau menyuruhnya untuk memanggil ibunya. “Dipanggil
mama” dalam bahasa Indonesia berstruktur DM. Namun bagi masyarakat Papua
“dipanggil mama” berarti “mama dipanggil”.
Peristiwa ini terjadi di pedalaman Papua yang masih
sangat tradisional. Walaupun Papua masih ada dalam kawasan NKRI, hal ini sangat
membuktikan bahwa Indonesia kaya akan perbedaan bahasa. Untuk itu bahasa
Indonesia perlu diajarkan untuk seluruh rakyat Indonesia sebagai bahasa
pemersatu bangsa. Dengan bahasa Indonesia pula akan terjalin sebuah komunikasi
yang baik antar masyarakat Indonesia, serta tidak akan ada lagi kesalahpahaman
dalam berbahasa sehari-hari. Terkadang perbedaan bahasa dapat menyebabkan
konflik dalam masyarakat. Sebuah kata yang sama dapat memiliki arti yang
berbeda di setiap daerah di Indonesia .
Contoh lain yaitu kata “Mangkat” untuk kawasan Jawa
Tengah dan Jawa Timur ternyata memiliki arti yang berbeda. Untuk kawasan Jawa
Tengah “mangkat” berarti berangkat. Dan untuk Jawa Timur arti kata “Mangkat”
adalah meninggal. Kedua arti yang ada dalam satu kata ini sungguh sangat
berbeda. Ini dapat memicu kesalahpahaman dalam berbahasa. Walaupun masih berada
di Pulau Jawa, sudah dapat menyebabkan adanya perbedaan bahasa.
Kesalahpahaman dalam berbahasa juga dapat disebabkan
karena adanya perbedaan cara pengucapan, logat dan nada bicara. Misalnya jika
di Jawa Tengah, seorang berbicara dengan nada yang halus dan ketika berbicara
dengan nada tinggi, maka akan dianggap tidak memiliki tatakrama. Sedangkan di
Sumatera Utara (Batak), mereka terbiasa berbicara dengan nada keras dan cepat.
Maka ketika dua orang yang berasal dari kedua daerah ini bertemu dan berbicara,
kemungkinan untuk terjadi kesalahpahaman akan lebih besar. Saat si Batak
mengatakan sesuatu dengan nada tinggi, bisa jadi si Jawa akan menganggapnya
sebagai omelan atau bahkan mengira si Batak marah kepadanya.
Selain itu kondisi kesalahpahaman juga disebabkan
karena adanya perbedaan karakter masyarakat di tiap daerah. Contoh mengenai si
Batak dan si Jawa diatas adalah salah satu contohnya. Karakter orang Batak yang
cenderung ceplas ceplos sangat berbeda dengan karakter orang Jawa yang
cenderung lebih memilih diam dan memendam sendiri. Perbedaan karakter ini juga
yang mempengaruhi kondisi seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk mengatasi masalah kebahasaan ini, dibutuhkan
adanya pemersatu bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Sangat disayangkan, ketika kita
mendapati kenyataan bahwa di Pulau Jawa sendiri, tidak semua masyarakatnya
dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Seharusnya pemerintah
membuat suatu program yang mengajarkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar
untuk digunakan berkomunikasi dalam kehidupan masyarakat nasional. Hal ini akan
memberikan kontribusi yang baik untuk mengatasi kesalahpahaman bahasa yang
terjadi di Indonesia serta akan terjalin sebuah komunikasi yang baik antar
warga Negara Indonesia.
B.
KONFLIK AGAMA
Agama
adalah suatu sistem yang dipadukan mengenai kepercayaan dan praktik suci.
Awalnya agama yang diakui oleh Negara Indonesia ada 5 yaitu Islam, Kristen,
Khatolik, Hindu, Budha namun pada saat pemerintahan mantan presiden KH Abdul
Rahman Wahid yang sering dipanggil dengan Gusdur beliau mengakui keberadaan
aliran Konghucu di Indonesia yang dulu tidak diakui keberadaannya, maka dari
itu semakin beragam agama di Indonesia . Beragam hal inilah yang menjadikan
Indonesia rawan konflik, tidak terkecuali konflik antar umat beragama seperti
contohnya konflik Islam-Kristen. Dan jika kita menelaah lebih dalam jika itu
konflik agama maka yang banyak terjadi adalah konflik antara agama
Islam-Kristen. Ini dikarenakan di Indonesia fundamentalisme agama masih begitu
kelihatan, terutama bagi golongan Kristen dan Islam.
Contoh konflik Agama yang pertama adalah Konflik berdarah
antara Islam-Kristen di Ambon, Poso yaitu mulai pada tahun 1999 sampai 2002.
Konflik ini awalnya dipicu oleh pertikaian antara supir angkutan (Yopie) dengan
Salim di terminal Batu Merah. Kerusuhan tersebut kemudian menjadi konflik
terbuka antara penduduk Muslim dan penduduk Kristen. Konflik ini berujung
pengrusakan dan penghancuran rumah ibadah. Yang menjadi keprihatinan luas
karena terjadi ketika umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Konflik
tersebut segera menarik perhatian umat Islam di Jawa, khususnya Laskar Jihad
pimpinan Jafar Umar Thalib. Menurut data Republika, korban akibat konflik ini
tercatat 8000-9000 korban jiwa, dan 700.000 orang mengungsi. Sementara itu
tercatat 38 gedung pemerintahan, 4 bank, 719 toko, 45 masjid, 47 gereja, 198 kendaraan
roda empat, 128 kendaraan roda dua, dan 7046 rumah rusak. Konflik Ambon ini
sebenarnya juga bukan murni konflik Islam-Kristen tetapi banyak hal yang
mendasarinya seperti pemerintahan kolonial yang lebih memihak Kristen daripada
Islam. Jadi bisa juga konflik ini berawal dari kepentingan kolonial untuk
mengadu domba masyarakat Ambon supaya terpecah belah, tetapi menjadi konflik
yang besar karena sudah mengatasnamakan agama dan susah terselesaikan sehingga
menjadi konflik yang berlarut-larut. Dalam kasus ini yang terlihat bahwa
pemeluk agama terlalu fanatik terhadap agamanya sehingga menganggap agama lain
buruk dan ingin menyingkirkannya.
Contoh konflik yang kedua adalah konflik Kasus
Perusakan Tempat Ibadah dan Fasilitas Publik. Kasus perusakan tempat ibadah
merupakan kasus klasik yang terjadi antara umat Islam dan Kristen.
Persengketaan mengenai pendirian tempat ibadah tidak berhenti meskipun ada
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 tahun
1969 tentang pendirian Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat. Kelompok Kristen yang tidak merasa senang dengan
SKB tersebut secara nyata tidak serius mengakui keberadaan SKB tersebut.
Sementara itu umat Islam selalu menggunakan SKB tersebut sebagai alasan untuk
menyikapi pendirian tempat ibadah Nasrani yang dipandang tidak sesuai dengan
kebutuhan nyata dan situasi psikologis masyarakat. Kerusuhan sosial yang
terjadi di Indonesia tidak jarang bersentuhan dengan Etnis China atau Kristen.
Hal itu disebabkan karena kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi secara
mencolok. Pribumi dengan mayoritas penganut Islam, dan golongan Etnis China
yang dipersepsi sebagai penganut Kristen (sebelum era Presiden Abdurrahman
Wahid) tidak diakui sebagai agama resmi. Tidak mengherankan apabila sasaran
amuk massa di era transisi tersebut sering diarahkan kepada dua kelompok
tersebut.
Contoh konflik yang ketiga adalah Amuk Massa di Kupang
yang terjadi tanggal 30 November 1998. Amuk massa tersebut bermula dari aksi
perkabungan dan aksi solidaritas warga Kristen NTT atas peristiwa Ketapang,
yaitu bentrok antara warga Muslim dan Kristen dengan disertai kerusakan tempat
ibadah. Aksi perkabungan dan solidaritas itu sendiri diprakarsai oleh
organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan Kristen, seperti GMKI,
PMKRI, Pemuda Khatolik NTT, dan mahasiswa di Kupang. Karena isu pembakaran di
gereja, massa tersebut kemudian bergerak menuju masjid di perkampungan muslim
kelurahan Bonipoi dan Solor, setelah sebelumnya melakukan perusakan masjid di
Kupang. Amuk massa tersebut mengakibatkan setidaknya 11 masjid, 1 musholla, dan
beberapa rumah serta pertokoan milik warga muslim rusak. Amuk massa tersebut
tidak hanya berhenti pada tanggal 30 November 1998. Dua hari setelahnya yaitu
tanggal 1 dan 2 Desember 1998 kerusuhan masih terjadi dan mengakibatkan
beberapa kerusakan. Sasaran amuk massa tersebut mencakup rumah milik ketua
Partai PPP, masjid dan toko-toko milik orang Bugis. Kerusuhan Kupang tersebut
berakar dari persaingan kelompok masyarakat, yaitu antara penganut Kristen yang
umumnya warga asli dan warga Muslim yang sebagian adalah pendatang. Kecepatan
pertumbuhan masjid dan perkembangan ekonomi umat Islam yang baik, karena mereka
sulit menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), menimbulkan kecemburuan sosial. Amuk
massa tersebut adalah momentum dimana kecemburuan tersebut mendapatkan
ekspresinya lewat idiom agama.
Contoh konflik yang keempat adalah amuk massa di
Ketapang yang terjadi pada tanggal 21 November 1998. Amuk massa tersebut berawal dari pemukulan penjaga bulutangkis
yang berasal dari ambon, terhadap seorang warga Ketapang. Peristiwa tersebut menjadi
amuk massa ketika ada isu tentang masjid yang dibakar oleh warga Ambon. Isu
pembakaran masjid tersebut membuat peristiwa kecil menjadi besar dan mengarah
kepada perusakan gereja tempat warga Ambon. Terjadilah bentrokan antara warga
dan berbagai tindakan perusakan. Tercatat 16 orang meninggal dunia, 81
luka-luka, 427 orang rawat jalan, 16 gereja dibakar, 1 masjid rusak, 3 sekolah
rusak selain kantor koramil, bank dan rumah serta kendaraan.
Contoh konflik yang kelima adalah Amuk Massa di
Mataram yang terjadi pada tanggal 17 Januari 2000. Pada saat itu dilaksanakan
Tablig Akbar untuk solidaritas kasus Ambon di Mataram. Tablig Akbar tersebut
didukung oleh berbagai organisasi Islam seperti Persaudaraan Pekerja Muslim
Indonesia (PPMI), Muhammadiyah, Nadhlatul Wathan, HMI, KAMMI, GP Anshor, Komunikasi
Pondok Pesantren NTB dan Pondok Pesantren Nurul Hikmat. Tablig Akbar tersebut
didahului dengan surat terbuka kepada umat Nasrani di NTB agar turut mengutuk
serangan terhadap umat Islam di Ambon. Hal itu mendapatkan respon dari berbagai
pihak baik Departemen Agama maupun kepolisian setempat. Pemerintah menjamin
bahwa umat Nasrani tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan mereka. Berbagai
persiapan pun dilakukan oleh aparat untuk menjaga Tablig Akbar tersebut. Akan
tetapi setelah acara tersebut, tidak terduga terjadi pembakaran terhadap
gereja-gereja dan sekolah Kristen. Kerusuhan terjadi selama 3 hari dengan
sasaran yang semakin beragam, yaitu rumah-rumah Nasrani dan pusat-pusat
perdagangan. Faktor penyebab amuk massa tersebut antara lain pembangunan gereja-gereja
mewah yang tidak mendapatkan izin pemerintah setempat namun tetap dibangun. Ada
pula jemaat gereja yang datang dari luar wilayah dimana gereja tersebut
dibangun.
Contoh konflik yang keenam adalah Kasus Poso yang
merupakan potret buram hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Persaingan antara pemeluk Islam dan Kristen
sebenarnya telah ada sejak era kolonial, tetapi baru pada era reformasi
persaingan tersebut menjadi konflik berdarah. Kebijakan untuk menghindari isu
SARA di era Orde Baru ternyata berbuah ledakan konflik setelah tumbangnya
kekuasaan Orde Baru. Konflik Poso umumnya dibagi menjadi 3 fase. Fase pertama
berlangsung pada tanggal 25-30 Desember 1998 dipicu oleh penyerangan terhadap
seseorang yang sedang tidur-tiduran di masjid oleh tiga pemuda yang sedang
mabuk. Peristiwa tersebut kemudian disusul dengan penyerangan oleh massa Herman
Parimo ke sejumlah rumah milik warga muslim. Peristiwa tersebut diakhiri dengan
ditangkapnya Herman Parimo yang diadili pada awal Januari 1999. Konflik Poso fase
kedua terjadi pada pada tanggal 15-21 April 2001. Konflik ini dipicu oleh
perkelahian antara pemuda Kristen dan pemuda Islam. Peristiwa tersebut disusul
dengan perusakan dan pembakaran rumah, kios, serta bangunan sekolah milik warga
Kristen dan mengakibatkan pengungsian kalangan Kristen. Konflik Poso ketiga
terjadi pada tanggal 23 Mei-10 Juni 2001. Kerusuhan tersebut dimulai dengan
kehadiran pasukan ninja pimpinan Fabianus Tibo. Pada pertengahan Mei mulai
terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Tibo. Puncaknya adalah
pembunuhan sekitar 200 santri di Pesantren Walisongo. Konflik Poso
mengakibatkan 504 orang meninggal, 313 orang terluka, dan sebanyak 7022 rumah
terbakar, 1378 rumah rusak berat dan 690 rumah rusak ringan, 31 temapat ibadah
rusak, sebuah pesantren rusak, dan berbagai fasilitas lainnya. Konflik Poso
fase ketiga adalah yang paling berdarah dalam rangkaian kasus Poso. Konflik
Poso diakhiri dengan penangkapan dan penahanan para tersangka, diantaranya
adalah hukuman mati terhadap Fabianus Tibo dan penangkapan beberapa warga dari
pihak Islam. Dalam konflik Poso institusi agama seperti gereja dan ormas Islam
turut ikut campur. Kasus Poso fase dua dan tiga menyebabkan mobilisasi massa
dengan menggunakan jaringan agama masing-masing. Gereja menjadi tempat untuk
mobilisasi massa Kristen, sementara Ormas Islam menjadi sarana untuk membantu
sesama muslim. Secara acak, konflik Poso masih belum sepenuhnya reda sampai
beberapa waktu kemudian dengan adanya mutilasi tiga orang siswi Kristen dan
pembunuhan seorang pendeta. Kasus Poso kemudian juga menarik perhatian
internasional, terutama setelah terjadinya kasus World Trade Centre 11
September 1999. Pemerintah Indonesia mendapatkan tekanan dari pihak asing untuk
menyelesaikan kasus Poso dan menekan kelompok-kelompok Islam yang dituduh
sebagai Jemaat Islamiyah.
Jika ditelaah lebih lanjut maka konflik antar agama di
Indonesia secara khusus akan mengancam equilibrium masyarakat yang sensitif
bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu perlu dipahami apa penyebab atau
latar belakang konflik agama itu bisa terjadi. Yang harus menjadi tujuan
pendidikan yang menggambarkan perdamaian antar agama ialah yang cenderung
membangun sikap yang membuat anggota komunitas agama yang berbeda mampu
berkomunikasi dengan cara yang normal, damai satu sama lain dan mengelola
konflik mereka tidak dengan cara kekerasan. Untuk konteks seperti Indonesia,
yang paling baik bagi para pemeluk agama sedapat mungkin saling bersilaturahmi
termasuk dalam menjalankan pelayanan sosial mereka sehingga hal-hal negatif dan
saling curiga akibat tidak saling mengerti bisa dihapuskan. Kemajemukan agama
juga seharusnya tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama, berdampingan
secara damai dan aman. Bahkan kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama
untuk membangun suatu Negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan
agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan
keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan.
C.
KONFLIK ADAT ISTIADAT/PERILAKU
Adat istiadat adalah sistem norma
yang tumbuh, berkembang dan dijunjung tinggi oleh masyarakat penganutnya.
Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa pengucilan, dikeluarkan dari
masyarakat/kastanya atau harus memenuhi persyaratan tertentu. Konflik adat istiadat dapat dikatakan sebagai suatu
bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang
berbeda etnis karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap,
kepercayaan, nilai atau kebutuhan.
Terjadi dua kali kerusuhan berskala besar antara suku
Dayak dengan Madura yaitu Peristiwa Sampit (2001) dan Senggau Ledo (1996).
Kedua kerusuhan ini merembet ke hampir semua wilayah Kalimantan dan berakhir
dengan pengusiran dan pengungsian ribuan warga Madura. Dengan jumlah korban hingga
mencapai 500-an orang. Perang antar suku ini menjadi masalah sosial yang
menasional. Ada 4 hal yang menjadi penyebab terjadinya perang antara suku Dayak
dan suku Madura :
1)
Perbedaan
antara Dayak-Madura, Perbedaan budaya jelas menjadi alasan mendasar ketika
perang antar suku terjadi. Masalahnya sangat sederhana, tetapi ketika sudah
berkaitan dengan kebudayaan. Maka hal tersebut juga berkaitan dengan kebiasaan.
Misalnya permasalahan senjata tajam bagi suku Dayak. Senjata tajam sangat
dilarang keras dibawa ke tempat umum. Orang yang membawa senjata tajam kerumah
orang lain. Walaupun bermaksud bertamu, dianggap sebagai ancaman atau ajakan
berduel. Lain halnya dengan budaya suku Madura yang biasa menyelipkan senjata
tajam kemana-mana dan dianggap biasa ditanah kelahirannya. Bagi suku Dayak,
senjata tajam bukan untuk menciderai orang. Bila hal ini terjadi, pelakunya
harus dikenai hukuman adat pati nyawa (bila korban cidera) dan hukum adat
pemampul darah (bila korban tewas). Namun, bila dilakukan berulang kali masalahnya
berubah menjadi masalah adat karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat
sehingga simbol adat “mangkok merah” (Dayak Kenayan) atau “Bungai Jarau” (Dayak
Iban) akan segera berlaku.
2)
Perilaku
yang tidak menyenangkan bagi suku Dayak, mencuri barang lain dalam jumlah besar
adalah tabu karena menurut mereka barang dan pemiliknya telah mengatu; ibarat
jiwa dan badan. Bila dilanggar, pemilik barang akan sakit bahkan bisa
meninggal. Sementara orang Madura sering kali terlibat pencurian dengan korbannya
dari suku Dayak. Pencurian yang dilakukan inilah yang menjadi pemicu pecahnya
perang antara suku Dayak dan Madura.
3)
Pinjam
meminjam tanah, adat suku dayak membolehkan pinjam meminjam tanah tanpa pamrih.
Hanya dengan kepercayaan lisan, orang Madura diperbolehkan menggarap tanah
orang Dayak. Namun persoalan timbul saat tanah tersebut diminta kembali.
Seringkali orang Madura menolak mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan
alasan merekalah yang telah menggarap selama ini. Dalam hukum adat Dayak, hal
ini disebut baling semaya (ingkar janji) yang harus dibalas dengan kekerasan.
Perang antar suku Dayak dan Madura pun tidak dapat dihindarkan lagi.
4)
Ikrar
perdamaian yang dilanggar, Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian
harus bersifat abadi. Pelanggaran akan dianggap sebagai pelecehan adat
sekaligus pernyataan permusuhan. Sementara orang Madura telah beberapa kali
melanggar ikrar perdamaian.
Pada intinya dalam konflik ini hanya tidak ada jiwa
pancasilanya. Karena konflik ini tidak akan bisa besar kalau seandainya ada
jiwa pancasila sesuai dengan sila-sila di Negara ini. Dilihat dari kerasnya
watak-watak suku Dayak dan Madura tidak ada jiwa kemanusiaannya. Perbedaan adat
istiadat di suatu daerah sangat berbeda-beda harusnya sebagai perantau dapat
beradaptasi sesuai dengan adat sekitarnya. Adanya saling memahami dan toleransi
diantara masing-masing suku akan mencegah konflik yang didasari oleh adat
istiadat ini.
D.
KONFLIK ETNIS, ATAU SUKU DAN RAS
Etnis
berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti
atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Di Indonesia, hidup sekitar 300
suku bangsa dengan jumlah setiap
sukunya beragam, mulai dari beberapa ratus orang saja hingga puluhan juta
orang. Suku yang populasinya terbanyak antara lain suku Jawa, Sunda, Dayak,
Batak, Minang, Melayu, Aceh, Manado, dan Makasar. Di samping itu, terdapat pula
suku bangsa yang jumlah penduduknya hanya sedikit, misalnya suku Nias, Kubu,
Mentawai, Asmat dan suku lainnya.
Konflik etnis, atau suku dan ras misalnya diskriminasi
yang dialami warga Negara Amerika yang berkulit hitam menyebabkan mereka sulit
untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak sehingga mereka mengalami
masalah kemiskinan, kesehatan yang rendah, hilangnya harga diri dan lain-lain.
Konflik etnis, atau suku dan ras tersebut sering terjadi oleh ras dan etnis
yang mayoritas terhadap yang minoritas. Hal tersebut menyebabkan timbulnya
masalah pada individu, keluarga atau kelompok yang berasal dari ras dan
etnisminoritas.
Konflik etnis ini dapat diminimalisasikan dengan lebih
menunjukkan sikap nasionalisme daripada sikap primordialisme. Loyalitas ganda
yaitu kesadaran individu bahwa ia bukan hanya dari satu kelompok sosial saja
misalnya dua orang yang berbeda agama tetapi berasal dari suku yang sama, dua
orang tersebut akan saling toleransi. Dengan adanya loyalitas ganda tersebut
dapat meminimalkan terjadinya konflik.
E.
KONFLIK BUDAYA MATERIAL
Kebudayaan merupakan suatu cara hidup yang berkembang
dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi.
Contoh konflik budaya material salah satunya adalah jika masyarakat yang berasal Jepara, ia akan membangun rumah dengan
menggunakan ukiran ala Jepara yang halus dan rumit. Dalam hal ini ia tidak bermaksud merepresentasikan
sesuatu, melainkan semata karena kedekatan emosionalnya dengan ukiran Jepara sekaligus
mengikuti tradisi yang sudah berterima tetapi saat
ia membangun rumah tersebut didaerah selain Jepara maka masyarakat daerah
dimana ia membangun rumah, akan menganggap aneh dengan keadaan rumah yang
seperti itu bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa orang Jepara tersebut akan
dikucilkan dalam hubungan bermasyarakat. Dalam konteks ini, rumahnya adalah dunia praktis (material)
yang berhubungan dengan dunia nonmaterial, yaitu struktur sosial yang mendorong
kesadaran orang tersebut untuk membangun rumah ala Jepara.
Tetapi, rumah tersebut dengan semua ukirannya tidak dimaksudkan sebagai mengacu pada makna
sebagaimana secara sosial dan tradisional dikandung struktur rumah ala Jepara,
melainkan semata karena kesenangan atau motif emosional pribadi belaka
—betapapun rumah tersebut pada akhirnya mengandung arti sosial dan simbolik.
Konflik
budaya ini dapat diminimalisasi dengan cara saling toleransi antar anggota masyarakat
dan meningkatkan intensitas interaksi antara setiap individu dalam masyarakat
juga dengan cara memahami dan menghormati masing-masing kebudayaan yang ada
dalam masyarakat majemuk.
BAB
III : PENUTUP
Kemajemukan yang terdapat di Indonesia selain
memperkaya kebudayaan juga berpotensi menimbulkan konflik. Kemajemukan bangsa
Indonesia adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dari adanya keanekaragaman
suku bangsa yang berasal dari 33 provinsi. Sifat heterogen juga bersumber pada
faktor horizontal dan faktor vertikal. Sementara itu pengaruh globalisasi lewat
informasi komunikasi yang semakin canggih, membuat bangsa Indonesia memiliki
berbagai paham, persepsi dan pandangan yang berbeda sekaligus bertentangan.
Faktor kemajemukan horizontal merupakan faktor-faktor
yang diterima sebagai warisan (ascribed-factors), sedangkan faktor kemajemukan
vertikal lebih banyak diperoleh dari usahanya sendiri (achievement-factors).
Kemajemukan akan menjurus ke arah konflik yang sangat potensial apabila faktor
kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor kemajemukan vertikal. Dengan kata
lain, apabila suatu kelompok etnis tertentu tidak hanya dibedakan dengan
kelompok etnis lainnya karena faktor-faktor (ascribed) lainnya seperti bahasa
daerah, agama, dan lain-lain tetapi juga karena perbedaan faktor (achievement)
seperti ekonomi, pemukiman, dan kedudukan politis, maka intensitas konflik akan
dapat menjurus kepada suasana permusuhan. Sebaliknya apabila kemajemukan
faktor-faktor horizontal tidak diperkuat oleh faktor-faktor vertikal, maka
intensitas konflik sangat kecil dan mudah untuk dijuruskan kepada persesuaian
atau harmoni.
Konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi.
Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik
yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak
sempurna dapat menciptakan konflik. Namun sebagai suatu anggota masyarakat yang tidak hanya hidup sendiri
pasti saling membutuhkan antara setiap individu dalam masyarakat tersebut.
Karena itu interaksi antar individu yang saling toleransi penting adanya untuk
menciptakan Indonesia yang jauh dari kata perpecahan.