Tuesday, 24 November 2015

Faktor Horizontal Sebagai Sumber Konflik Dalam Masyarakat Majemuk


MAKALAH
“FAKTOR HORIZONTAL SEBAGAI SUMBER KONFLIK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK”
MATA KULIAH : STUDI MASYARAKAT INDONESIA






DISUSUN OLEH
NAMA    : ISMAH PRATIWI
NIM        : 7133141041
KELAS   : E REGULER


JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


BAB I : PENDAHULUAN


Menurut J.S. Furnivall masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Dalam pelajaran sejarah, kita telah mengetahui bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sekarang ini berasal dari Yunan, yaitu suatu wilayah di Cina bagian selatan yang pindah ke pulau-pulau di Nusantara. Perpindahan ini terjadi secara bertahap dalam waktu dan jalur yang berbeda. Ada kelompok mengambil jalur barat melalui selat Malaka menuju pulau Sumatera dan Jawa. Sedangkan kelompok lainnya mengambil jalan ke arah timur, yaitu melalui kepulauan Formosa atau Taiwan, di sebelah selatan Jepang, menuju Filipina dan kemudian meneruskan perjalanan ke Kalimantan. Dari Kalimantan ada yang pindah ke Jawa dan sebagian lagi ke pulau Sulawesi. Perbedaan jalur perjalanan, proses adaptasi di beberapa tempat persinggahan yang berbeda, dan perbedaan pengalaman serta pengetahuan itulah yang menyebabkan timbulnya perbedaan terutama agama, suku, bahasa daerah, adat istiadat, dan budaya material.
Ikatan-ikatan primordial seperti ikatan agama, suku, bahasa daerah, adat istiadat, dan budaya material dapat menjadi masalah krusial apabila masing-masing kelompok menggunakan kerangka budaya mereka sendiri dalam berkomunikasi dan bermasyarakat. Ini memberikan isyarat bahwa primordialisme horizontal memiliki potensi konflik yang dapat mengarah kepada disintegrasi nasional. Oleh karena itu upaya yang diperlukan untuk mengantisipasi hal yang demikian ialah dengan menerapkan strategi kebudayaan yang dinamis dan berkelanjutan.




BAB II : PEMBAHASAN


Majemuk memiliki makna sesuatu yang beragam, sesuatu yang memilik banyak perbedaan begitupun dengan masyarakat Indonesia. Indonesia terkenal dengan kemajemukannya maka dari itu Indonesia sering disebut sebagai masyarakat yang bhineka tungal ika yang memiliki makna bahwa meskipun masyarakatnya memiliki perbedaan atau kemajemukan namun tetap satu jua. Sumber konflik dalam kemajemukan masyarakat dapat diklasifikasikan melalui dua kategori yaitu :
v   Faktor horizontal, pemahaman ini didasarkan pada fakta yang menunjukkan adanya satuan-satuan sosial yang keragamannya dicirikan oleh perbedaan etnis atau suku dan ras, bahasa daerah, adat-istiadat, agama, dan budaya material.
v   Faktor vertikal, pemahaman ini didasarkan pada perbedaan-perbedaan yang bersifat vertikal yaitu bahwa perbedaan dari unsur-unsur yang membuat keragaman tersebut dapat diukur berdasarkan kualitas atau kadarnya misalnya dari aspek ekonomi, pendidikan, pemukiman, pekerjaan, dan kedudukan sosio-politik.
Berdasarkan klasifikasi diatas, penjelasan dari sumber konflik yang berasal dari faktor horizontal yaitu sebagai berikut :
A.                KONFLIK BAHASA DAERAH

Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah Negara. Indonesia memiliki suku bangsa yang terbanyak di dunia. Yaitu terdapat lebih dari 740 suku bangsa atau etnis, bahkan di Papua saja terdapat 270 suku. Dengan jumlah suku sebanyak itu menjadikan Indonesia  memiliki bahasa daerah terbanyak, yaitu 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Adanya perbedaan bahasa yang digunakan oleh beberapa suku bangsa dapat diketahui apabila mereka menggunakannya dengan sesamanya.
Konflik bahasa daerah salah satunya yaitu yang terjadi pada seorang guru bahasa Indonesia asal Jawa Tengah yang mendapat tugas untuk mengajar didaerah pedalaman Papua selama beberapa tahun mengalami sedikit kesalahpahaman dalam penyesuaian diri dengan bahasa setempat di awal masa pengabdiannya. Sebut saja namanya ibu Widya . Suatu sore menjelang magrib, ketika baru sebulan menetap disana, putra ibu Widya masih asyik bermain dengan temannya yang asli Papua bernama Denias, sebelum beliau pulang, ibu Denias berpesan kepada Bu Widya untuk menyuruh anaknya pulang. Saat memasuki halaman rumahnya, Bu Widya berkata “Hei, kau dipanggil mama kau” lalu Denias pulang kerumahnya. Tetapi tak lama, anak itu kembali bersama ibunya. Bu Widya bingung, beliau menyuruh Denias pulang karena dipanggil ibunya, tapi dia malah kembali bersama ibunya. Setelah dijelaskan oleh tetangganya tersebut, Bu Widya baru mengerti jika di Papua, mereka menggunakan system MD(menjelaskan dijelaskan) seperti dalam bahasa Inggris. Jadi ketika Bu Widya menyuruh Denias untuk pulang karena dipanggil ibunya, dia mengira bahwa beliau menyuruhnya untuk memanggil ibunya. “Dipanggil mama” dalam bahasa Indonesia berstruktur DM. Namun bagi masyarakat Papua “dipanggil mama” berarti “mama dipanggil”.
Peristiwa ini terjadi di pedalaman Papua yang masih sangat tradisional. Walaupun Papua masih ada dalam kawasan NKRI, hal ini sangat membuktikan bahwa Indonesia kaya akan perbedaan bahasa. Untuk itu bahasa Indonesia perlu diajarkan untuk seluruh rakyat Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Dengan bahasa Indonesia pula akan terjalin sebuah komunikasi yang baik antar masyarakat Indonesia, serta tidak akan ada lagi kesalahpahaman dalam berbahasa sehari-hari. Terkadang perbedaan bahasa dapat menyebabkan konflik dalam masyarakat. Sebuah kata yang sama dapat memiliki arti yang berbeda di setiap daerah di Indonesia .
Contoh lain yaitu kata “Mangkat” untuk kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ternyata memiliki arti yang berbeda. Untuk kawasan Jawa Tengah “mangkat” berarti berangkat. Dan untuk Jawa Timur arti kata “Mangkat” adalah meninggal. Kedua arti yang ada dalam satu kata ini sungguh sangat berbeda. Ini dapat memicu kesalahpahaman dalam berbahasa. Walaupun masih berada di Pulau Jawa, sudah dapat menyebabkan adanya perbedaan bahasa.
Kesalahpahaman dalam berbahasa juga dapat disebabkan karena adanya perbedaan cara pengucapan, logat dan nada bicara. Misalnya jika di Jawa Tengah, seorang berbicara dengan nada yang halus dan ketika berbicara dengan nada tinggi, maka akan dianggap tidak memiliki tatakrama. Sedangkan di Sumatera Utara (Batak), mereka terbiasa berbicara dengan nada keras dan cepat. Maka ketika dua orang yang berasal dari kedua daerah ini bertemu dan berbicara, kemungkinan untuk terjadi kesalahpahaman akan lebih besar. Saat si Batak mengatakan sesuatu dengan nada tinggi, bisa jadi si Jawa akan menganggapnya sebagai omelan atau bahkan mengira si Batak marah kepadanya.
Selain itu kondisi kesalahpahaman juga disebabkan karena adanya perbedaan karakter masyarakat di tiap daerah. Contoh mengenai si Batak dan si Jawa diatas adalah salah satu contohnya. Karakter orang Batak yang cenderung ceplas ceplos sangat berbeda dengan karakter orang Jawa yang cenderung lebih memilih diam dan memendam sendiri. Perbedaan karakter ini juga yang mempengaruhi kondisi seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk mengatasi masalah kebahasaan ini, dibutuhkan adanya pemersatu bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Sangat disayangkan, ketika kita mendapati kenyataan bahwa di Pulau Jawa sendiri, tidak semua masyarakatnya dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Seharusnya pemerintah membuat suatu program yang mengajarkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar untuk digunakan berkomunikasi dalam kehidupan masyarakat nasional. Hal ini akan memberikan kontribusi yang baik untuk mengatasi kesalahpahaman bahasa yang terjadi di Indonesia serta akan terjalin sebuah komunikasi yang baik antar warga Negara Indonesia.

B.                KONFLIK AGAMA

Agama adalah suatu sistem yang dipadukan mengenai kepercayaan dan praktik suci. Awalnya agama yang diakui oleh Negara Indonesia ada 5 yaitu Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha namun pada saat pemerintahan mantan presiden KH Abdul Rahman Wahid yang sering dipanggil dengan Gusdur beliau mengakui keberadaan aliran Konghucu di Indonesia yang dulu tidak diakui keberadaannya, maka dari itu semakin beragam agama di Indonesia . Beragam hal inilah yang menjadikan Indonesia rawan konflik, tidak terkecuali konflik antar umat beragama seperti contohnya konflik Islam-Kristen. Dan jika kita menelaah lebih dalam jika itu konflik agama maka yang banyak terjadi adalah konflik antara agama Islam-Kristen. Ini dikarenakan di Indonesia fundamentalisme agama masih begitu kelihatan, terutama bagi golongan Kristen dan Islam.

Contoh konflik Agama yang pertama adalah Konflik berdarah antara Islam-Kristen di Ambon, Poso yaitu mulai pada tahun 1999 sampai 2002. Konflik ini awalnya dipicu oleh pertikaian antara supir angkutan (Yopie) dengan Salim di terminal Batu Merah. Kerusuhan tersebut kemudian menjadi konflik terbuka antara penduduk Muslim dan penduduk Kristen. Konflik ini berujung pengrusakan dan penghancuran rumah ibadah. Yang menjadi keprihatinan luas karena terjadi ketika umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Konflik tersebut segera menarik perhatian umat Islam di Jawa, khususnya Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Thalib. Menurut data Republika, korban akibat konflik ini tercatat 8000-9000 korban jiwa, dan 700.000 orang mengungsi. Sementara itu tercatat 38 gedung pemerintahan, 4 bank, 719 toko, 45 masjid, 47 gereja, 198 kendaraan roda empat, 128 kendaraan roda dua, dan 7046 rumah rusak. Konflik Ambon ini sebenarnya juga bukan murni konflik Islam-Kristen tetapi banyak hal yang mendasarinya seperti pemerintahan kolonial yang lebih memihak Kristen daripada Islam. Jadi bisa juga konflik ini berawal dari kepentingan kolonial untuk mengadu domba masyarakat Ambon supaya terpecah belah, tetapi menjadi konflik yang besar karena sudah mengatasnamakan agama dan susah terselesaikan sehingga menjadi konflik yang berlarut-larut. Dalam kasus ini yang terlihat bahwa pemeluk agama terlalu fanatik terhadap agamanya sehingga menganggap agama lain buruk dan ingin menyingkirkannya.
Contoh konflik yang kedua adalah konflik Kasus Perusakan Tempat Ibadah dan Fasilitas Publik. Kasus perusakan tempat ibadah merupakan kasus klasik yang terjadi antara umat Islam dan Kristen. Persengketaan mengenai pendirian tempat ibadah tidak berhenti meskipun ada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 tahun 1969 tentang pendirian Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat. Kelompok Kristen yang tidak merasa senang dengan SKB tersebut secara nyata tidak serius mengakui keberadaan SKB tersebut. Sementara itu umat Islam selalu menggunakan SKB tersebut sebagai alasan untuk menyikapi pendirian tempat ibadah Nasrani yang dipandang tidak sesuai dengan kebutuhan nyata dan situasi psikologis masyarakat. Kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia tidak jarang bersentuhan dengan Etnis China atau Kristen. Hal itu disebabkan karena kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi secara mencolok. Pribumi dengan mayoritas penganut Islam, dan golongan Etnis China yang dipersepsi sebagai penganut Kristen (sebelum era Presiden Abdurrahman Wahid) tidak diakui sebagai agama resmi. Tidak mengherankan apabila sasaran amuk massa di era transisi tersebut sering diarahkan kepada dua kelompok tersebut.
Contoh konflik yang ketiga adalah Amuk Massa di Kupang yang terjadi tanggal 30 November 1998. Amuk massa tersebut bermula dari aksi perkabungan dan aksi solidaritas warga Kristen NTT atas peristiwa Ketapang, yaitu bentrok antara warga Muslim dan Kristen dengan disertai kerusakan tempat ibadah. Aksi perkabungan dan solidaritas itu sendiri diprakarsai oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan Kristen, seperti GMKI, PMKRI, Pemuda Khatolik NTT, dan mahasiswa di Kupang. Karena isu pembakaran di gereja, massa tersebut kemudian bergerak menuju masjid di perkampungan muslim kelurahan Bonipoi dan Solor, setelah sebelumnya melakukan perusakan masjid di Kupang. Amuk massa tersebut mengakibatkan setidaknya 11 masjid, 1 musholla, dan beberapa rumah serta pertokoan milik warga muslim rusak. Amuk massa tersebut tidak hanya berhenti pada tanggal 30 November 1998. Dua hari setelahnya yaitu tanggal 1 dan 2 Desember 1998 kerusuhan masih terjadi dan mengakibatkan beberapa kerusakan. Sasaran amuk massa tersebut mencakup rumah milik ketua Partai PPP, masjid dan toko-toko milik orang Bugis. Kerusuhan Kupang tersebut berakar dari persaingan kelompok masyarakat, yaitu antara penganut Kristen yang umumnya warga asli dan warga Muslim yang sebagian adalah pendatang. Kecepatan pertumbuhan masjid dan perkembangan ekonomi umat Islam yang baik, karena mereka sulit menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), menimbulkan kecemburuan sosial. Amuk massa tersebut adalah momentum dimana kecemburuan tersebut mendapatkan ekspresinya lewat idiom agama.
Contoh konflik yang keempat adalah amuk massa di Ketapang yang terjadi pada tanggal 21 November 1998. Amuk massa tersebut  berawal dari pemukulan penjaga bulutangkis yang berasal dari ambon, terhadap seorang warga Ketapang. Peristiwa tersebut menjadi amuk massa ketika ada isu tentang masjid yang dibakar oleh warga Ambon. Isu pembakaran masjid tersebut membuat peristiwa kecil menjadi besar dan mengarah kepada perusakan gereja tempat warga Ambon. Terjadilah bentrokan antara warga dan berbagai tindakan perusakan. Tercatat 16 orang meninggal dunia, 81 luka-luka, 427 orang rawat jalan, 16 gereja dibakar, 1 masjid rusak, 3 sekolah rusak selain kantor koramil, bank dan rumah serta kendaraan.
Contoh konflik yang kelima adalah Amuk Massa di Mataram yang terjadi pada tanggal 17 Januari 2000. Pada saat itu dilaksanakan Tablig Akbar untuk solidaritas kasus Ambon di Mataram. Tablig Akbar tersebut didukung oleh berbagai organisasi Islam seperti Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Muhammadiyah, Nadhlatul Wathan, HMI, KAMMI, GP Anshor, Komunikasi Pondok Pesantren NTB dan Pondok Pesantren Nurul Hikmat. Tablig Akbar tersebut didahului dengan surat terbuka kepada umat Nasrani di NTB agar turut mengutuk serangan terhadap umat Islam di Ambon. Hal itu mendapatkan respon dari berbagai pihak baik Departemen Agama maupun kepolisian setempat. Pemerintah menjamin bahwa umat Nasrani tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan mereka. Berbagai persiapan pun dilakukan oleh aparat untuk menjaga Tablig Akbar tersebut. Akan tetapi setelah acara tersebut, tidak terduga terjadi pembakaran terhadap gereja-gereja dan sekolah Kristen. Kerusuhan terjadi selama 3 hari dengan sasaran yang semakin beragam, yaitu rumah-rumah Nasrani dan pusat-pusat perdagangan. Faktor penyebab amuk massa tersebut antara lain pembangunan gereja-gereja mewah yang tidak mendapatkan izin pemerintah setempat namun tetap dibangun. Ada pula jemaat gereja yang datang dari luar wilayah dimana gereja tersebut dibangun.
Contoh konflik yang keenam adalah Kasus Poso yang merupakan potret buram hubungan Islam dan Kristen di Indonesia.  Persaingan antara pemeluk Islam dan Kristen sebenarnya telah ada sejak era kolonial, tetapi baru pada era reformasi persaingan tersebut menjadi konflik berdarah. Kebijakan untuk menghindari isu SARA di era Orde Baru ternyata berbuah ledakan konflik setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Konflik Poso umumnya dibagi menjadi 3 fase. Fase pertama berlangsung pada tanggal 25-30 Desember 1998 dipicu oleh penyerangan terhadap seseorang yang sedang tidur-tiduran di masjid oleh tiga pemuda yang sedang mabuk. Peristiwa tersebut kemudian disusul dengan penyerangan oleh massa Herman Parimo ke sejumlah rumah milik warga muslim. Peristiwa tersebut diakhiri dengan ditangkapnya Herman Parimo yang diadili pada awal Januari 1999. Konflik Poso fase kedua terjadi pada pada tanggal 15-21 April 2001. Konflik ini dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen dan pemuda Islam. Peristiwa tersebut disusul dengan perusakan dan pembakaran rumah, kios, serta bangunan sekolah milik warga Kristen dan mengakibatkan pengungsian kalangan Kristen. Konflik Poso ketiga terjadi pada tanggal 23 Mei-10 Juni 2001. Kerusuhan tersebut dimulai dengan kehadiran pasukan ninja pimpinan Fabianus Tibo. Pada pertengahan Mei mulai terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Tibo. Puncaknya adalah pembunuhan sekitar 200 santri di Pesantren Walisongo. Konflik Poso mengakibatkan 504 orang meninggal, 313 orang terluka, dan sebanyak 7022 rumah terbakar, 1378 rumah rusak berat dan 690 rumah rusak ringan, 31 temapat ibadah rusak, sebuah pesantren rusak, dan berbagai fasilitas lainnya. Konflik Poso fase ketiga adalah yang paling berdarah dalam rangkaian kasus Poso. Konflik Poso diakhiri dengan penangkapan dan penahanan para tersangka, diantaranya adalah hukuman mati terhadap Fabianus Tibo dan penangkapan beberapa warga dari pihak Islam. Dalam konflik Poso institusi agama seperti gereja dan ormas Islam turut ikut campur. Kasus Poso fase dua dan tiga menyebabkan mobilisasi massa dengan menggunakan jaringan agama masing-masing. Gereja menjadi tempat untuk mobilisasi massa Kristen, sementara Ormas Islam menjadi sarana untuk membantu sesama muslim. Secara acak, konflik Poso masih belum sepenuhnya reda sampai beberapa waktu kemudian dengan adanya mutilasi tiga orang siswi Kristen dan pembunuhan seorang pendeta. Kasus Poso kemudian juga menarik perhatian internasional, terutama setelah terjadinya kasus World Trade Centre 11 September 1999. Pemerintah Indonesia mendapatkan tekanan dari pihak asing untuk menyelesaikan kasus Poso dan menekan kelompok-kelompok Islam yang dituduh sebagai Jemaat Islamiyah.
Jika ditelaah lebih lanjut maka konflik antar agama di Indonesia secara khusus akan mengancam equilibrium masyarakat yang sensitif bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu perlu dipahami apa penyebab atau latar belakang konflik agama itu bisa terjadi. Yang harus menjadi tujuan pendidikan yang menggambarkan perdamaian antar agama ialah yang cenderung membangun sikap yang membuat anggota komunitas agama yang berbeda mampu berkomunikasi dengan cara yang normal, damai satu sama lain dan mengelola konflik mereka tidak dengan cara kekerasan. Untuk konteks seperti Indonesia, yang paling baik bagi para pemeluk agama sedapat mungkin saling bersilaturahmi termasuk dalam menjalankan pelayanan sosial mereka sehingga hal-hal negatif dan saling curiga akibat tidak saling mengerti bisa dihapuskan. Kemajemukan agama juga seharusnya tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu Negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan.

C.                KONFLIK ADAT ISTIADAT/PERILAKU
Adat istiadat adalah sistem norma yang tumbuh, berkembang dan dijunjung tinggi oleh masyarakat penganutnya. Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya atau harus memenuhi persyaratan tertentu. Konflik adat istiadat dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnis karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan.
Terjadi dua kali kerusuhan berskala besar antara suku Dayak dengan Madura yaitu Peristiwa Sampit (2001) dan Senggau Ledo (1996). Kedua kerusuhan ini merembet ke hampir semua wilayah Kalimantan dan berakhir dengan pengusiran dan pengungsian ribuan warga Madura. Dengan jumlah korban hingga mencapai 500-an orang. Perang antar suku ini menjadi masalah sosial yang menasional. Ada 4 hal yang menjadi penyebab terjadinya perang antara suku Dayak dan suku Madura :
1)             Perbedaan antara Dayak-Madura, Perbedaan budaya jelas menjadi alasan mendasar ketika perang antar suku terjadi. Masalahnya sangat sederhana, tetapi ketika sudah berkaitan dengan kebudayaan. Maka hal tersebut juga berkaitan dengan kebiasaan. Misalnya permasalahan senjata tajam bagi suku Dayak. Senjata tajam sangat dilarang keras dibawa ke tempat umum. Orang yang membawa senjata tajam kerumah orang lain. Walaupun bermaksud bertamu, dianggap sebagai ancaman atau ajakan berduel. Lain halnya dengan budaya suku Madura yang biasa menyelipkan senjata tajam kemana-mana dan dianggap biasa ditanah kelahirannya. Bagi suku Dayak, senjata tajam bukan untuk menciderai orang. Bila hal ini terjadi, pelakunya harus dikenai hukuman adat pati nyawa (bila korban cidera) dan hukum adat pemampul darah (bila korban tewas). Namun, bila dilakukan berulang kali masalahnya berubah menjadi masalah adat karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat sehingga simbol adat “mangkok merah” (Dayak Kenayan) atau “Bungai Jarau” (Dayak Iban) akan segera berlaku.
2)             Perilaku yang tidak menyenangkan bagi suku Dayak, mencuri barang lain dalam jumlah besar adalah tabu karena menurut mereka barang dan pemiliknya telah mengatu; ibarat jiwa dan badan. Bila dilanggar, pemilik barang akan sakit bahkan bisa meninggal. Sementara orang Madura sering kali terlibat pencurian dengan korbannya dari suku Dayak. Pencurian yang dilakukan inilah yang menjadi pemicu pecahnya perang antara suku Dayak dan Madura.
3)             Pinjam meminjam tanah, adat suku dayak membolehkan pinjam meminjam tanah tanpa pamrih. Hanya dengan kepercayaan lisan, orang Madura diperbolehkan menggarap tanah orang Dayak. Namun persoalan timbul saat tanah tersebut diminta kembali. Seringkali orang Madura menolak mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan alasan merekalah yang telah menggarap selama ini. Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut baling semaya (ingkar janji) yang harus dibalas dengan kekerasan. Perang antar suku Dayak dan Madura pun tidak dapat dihindarkan lagi.
4)             Ikrar perdamaian yang dilanggar, Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran akan dianggap sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan. Sementara orang Madura telah beberapa kali melanggar ikrar perdamaian.
Pada intinya dalam konflik ini hanya tidak ada jiwa pancasilanya. Karena konflik ini tidak akan bisa besar kalau seandainya ada jiwa pancasila sesuai dengan sila-sila di Negara ini. Dilihat dari kerasnya watak-watak suku Dayak dan Madura tidak ada jiwa kemanusiaannya. Perbedaan adat istiadat di suatu daerah sangat berbeda-beda harusnya sebagai perantau dapat beradaptasi sesuai dengan adat sekitarnya. Adanya saling memahami dan toleransi diantara masing-masing suku akan mencegah konflik yang didasari oleh adat istiadat ini.

D.                KONFLIK ETNIS, ATAU SUKU DAN RAS
Etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Di Indonesia, hidup sekitar 300 suku bangsa dengan jumlah setiap sukunya beragam, mulai dari beberapa ratus orang saja hingga puluhan juta orang. Suku yang populasinya terbanyak antara lain suku Jawa, Sunda, Dayak, Batak, Minang, Melayu, Aceh, Manado, dan Makasar. Di samping itu, terdapat pula suku bangsa yang jumlah penduduknya hanya sedikit, misalnya suku Nias, Kubu, Mentawai, Asmat dan suku lainnya.
Konflik etnis, atau suku dan ras misalnya diskriminasi yang dialami warga Negara Amerika yang berkulit hitam menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak sehingga mereka mengalami masalah kemiskinan, kesehatan yang rendah, hilangnya harga diri dan lain-lain. Konflik etnis, atau suku dan ras tersebut sering terjadi oleh ras dan etnis yang mayoritas terhadap yang minoritas. Hal tersebut menyebabkan timbulnya masalah pada individu, keluarga atau kelompok yang berasal dari ras dan etnisminoritas.
Konflik etnis ini dapat diminimalisasikan dengan lebih menunjukkan sikap nasionalisme daripada sikap primordialisme. Loyalitas ganda yaitu kesadaran individu bahwa ia bukan hanya dari satu kelompok sosial saja misalnya dua orang yang berbeda agama tetapi berasal dari suku yang sama, dua orang tersebut akan saling toleransi. Dengan adanya loyalitas ganda tersebut dapat meminimalkan terjadinya konflik.

E.                     KONFLIK BUDAYA MATERIAL

Kebudayaan merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Contoh konflik budaya material salah satunya adalah  jika masyarakat yang berasal Jepara, ia akan membangun rumah dengan menggunakan ukiran ala Jepara yang halus dan rumit. Dalam hal ini ia tidak bermaksud merepresentasikan sesuatu, melainkan semata karena kedekatan emosionalnya dengan ukiran Jepara sekaligus mengikuti tradisi yang sudah berterima tetapi saat ia membangun rumah tersebut didaerah selain Jepara maka masyarakat daerah dimana ia membangun rumah, akan menganggap aneh dengan keadaan rumah yang seperti itu bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa orang Jepara tersebut akan dikucilkan dalam hubungan bermasyarakat. Dalam konteks ini, rumahnya adalah dunia praktis (material) yang berhubungan dengan dunia nonmaterial, yaitu struktur sosial yang mendorong kesadaran orang tersebut untuk membangun rumah ala Jepara. Tetapi, rumah tersebut dengan semua ukirannya tidak  dimaksudkan sebagai mengacu pada makna sebagaimana secara sosial dan tradisional dikandung struktur rumah ala Jepara, melainkan semata karena kesenangan atau motif emosional pribadi belaka —betapapun rumah tersebut pada akhirnya mengandung arti sosial dan simbolik.
Konflik budaya ini dapat diminimalisasi dengan cara saling toleransi antar anggota masyarakat dan meningkatkan intensitas interaksi antara setiap individu dalam masyarakat juga dengan cara memahami dan menghormati masing-masing kebudayaan yang ada dalam masyarakat majemuk.



BAB III : PENUTUP

Kemajemukan yang terdapat di Indonesia selain memperkaya kebudayaan juga berpotensi menimbulkan konflik. Kemajemukan bangsa Indonesia adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dari adanya keanekaragaman suku bangsa yang berasal dari 33 provinsi. Sifat heterogen juga bersumber pada faktor horizontal dan faktor vertikal. Sementara itu pengaruh globalisasi lewat informasi komunikasi yang semakin canggih, membuat bangsa Indonesia memiliki berbagai paham, persepsi dan pandangan yang berbeda sekaligus bertentangan.
Faktor kemajemukan horizontal merupakan faktor-faktor yang diterima sebagai warisan (ascribed-factors), sedangkan faktor kemajemukan vertikal lebih banyak diperoleh dari usahanya sendiri (achievement-factors). Kemajemukan akan menjurus ke arah konflik yang sangat potensial apabila faktor kemajemukan horizontal bersatu dengan faktor kemajemukan vertikal. Dengan kata lain, apabila suatu kelompok etnis tertentu tidak hanya dibedakan dengan kelompok etnis lainnya karena faktor-faktor (ascribed) lainnya seperti bahasa daerah, agama, dan lain-lain tetapi juga karena perbedaan faktor (achievement) seperti ekonomi, pemukiman, dan kedudukan politis, maka intensitas konflik akan dapat menjurus kepada suasana permusuhan. Sebaliknya apabila kemajemukan faktor-faktor horizontal tidak diperkuat oleh faktor-faktor vertikal, maka intensitas konflik sangat kecil dan mudah untuk dijuruskan kepada persesuaian atau harmoni.
Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Namun sebagai suatu anggota masyarakat yang tidak hanya hidup sendiri pasti saling membutuhkan antara setiap individu dalam masyarakat tersebut. Karena itu interaksi antar individu yang saling toleransi penting adanya untuk menciptakan Indonesia yang jauh dari kata perpecahan.