MAKALAH
FILSAFAT
PENDIDIKAN REALISME
OLEH
ISMAH
PRATIWI
NIM
: 7133141041
B
REGULER
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur saya
panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmat dan
karuniaNya
saya
dapat
menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Pendidikan“. Adapun materi yang dibahas dalam
makalah ini adalah “Filsafat Pendidikan Realisme”.
Akhirnya saya berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Saya menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kesalahan, dan kekurangan serta jauh
dari sempurna maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
Medan,
September 2015
Penulis
Ismah Pratiwi
7133141041
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat pendidikan adalah aplikasi
dari filsafat umum dalam pendidikan. Filsafat
pendidikan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang menyangkut dengan tujuan, latar belakang, cara dan
hasilnya serta hakikat ilmu pendidikan yang menyangkut struktur kegunaannya.
Terdapat banyak alasan
untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan
rasional yang tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan.
Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas konsep dan
praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus globalisasi
dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi inovasi agar
tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang jelas.
Pendidikan membutuhkan
filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan
pendidikan semata, yang terbatas pada pengalaman. Dalam kegiatan pendidikan
akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan mendalam serta tidak
terbatas oleh pengalaman indrawi maupun fakta-fakta sehingga tidak dapat
dijangkau oleh ilmu pendidikan (science of education). Masalah-masalah tersebut
antara lain adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia
dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang
merupakan suatu fakta, namun pembahasannya tidak dapat dikaji hanya dengan
menggunakan pendekatan sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih
mendalam melalui filsafat.
Filsafat ilmu pendidikan dapat
dibataskan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan melaui
riset baik kualitatif maupun kuantitatif. Filsafat pendidikan ini perlu
dipedomani para perencana pendidikan tentang tujuan, isi, kurikulum yang
merumuskan tujuan-tujuan pengubahan perilaku yang bersifat personal, sosial dan
ekonomi.
Dalam filsafat
ditemukan adanya aliran seperti idealisme, realisme, materialisme, pragmatisme,
eksistensialime, dan lain-lain. Dengan demikian,
pendekatan filosofis dalam memaknai teori pendidikan akan didasari oleh berbagai
aliran filsafat tersebut. Pembahasan dalam makalah ini menekankan pada topik
tentang teori pendidikan berdasarkan aliran filsafat realisme.
1.
Apa yang
dimaksud dengan realisme?
2.
Apa saja
bentuk-bentuk aliran realisme?
3.
Bagaimana konsep filsafat
menurut aliran realisme?
4.
Bagaimana filsafat
pendidikan realisme?
1.
Mengetahui dan
memahami pengertian realisme
2.
Mengetahui dan
memahami bentuk-bentuk aliran realisme
3.
Mengetahui dan
memahami konsep filsafat menurut aliran realisme
4.
Mengetahui dan
memahami filsafat pendidikan realisme
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Realisme
Realisme merupakan suatu aliran yang lahir di
Eropa pada abad ke 16-17 yang
menunjukkan keinginan untuk mengetahui segala sesuatu dalam alam. Ini berarti
beralihnya perhatian dari pelajaran-pelajaran tentang manusia kepada realita (kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan alam).
Menurut
Kattsof (1996:126) realisme dalam berbagai bentuk menarik garis pemisah yang
tajam antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan pada umumnya cenderung ke
arah dualisme atau monisme materialistik. Dengan berpandangan bahwa objek atau
dunia luar itu adalah nyata pada sendirinya, realisme memandang pula bahwa
kenyataan itu berbeda dengan jiwa yang mengetahui objek atau dunia luar
tersebut. Maka dari itu pengamatan, penelitian dan penarikan kesimpulan
mengenai hasil-hasilnya perlu agar dapat diperoleh gambaran yang tepat secara
langsung atau tidak langsung mengenai sesuatu.
Menurut Realisme, kualitas nilai
tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih
dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati
oleh subjek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari sikap subjek
tersebut. Sebagai aliran filsafat, realisme
berpendirian bahwa yang ada yang ditangkap panca indra dan
yang konsepnya ada itu memang nyata ada.
Definisi
kebenaran menurut penganut realisme adalah ukuran kebenaran suatu gagasan
mengenai sesuatu yaitu menentukan apakah gagasan itu benar-benar memberikan
pengetahuan kepada kita mengenai sesuatu itu sendiri ataukah tidak dengan
mengadakan pembedaan antara apakah sesuatu itu yang senyatanya dengan
bagaimanakah tampaknya sesuatu itu.
2.2 Bentuk-Bentuk Aliran Realisme
1. Realisme Rasional
Realisme
dapat didefinisikan pada dua aliran, yaitu realisme klasik dan realisme
religius. Bentuk utama dari realisme religius ialah “Scholastisisme”. Realisme klasik ialah filsafat Yunani yang pertama
kali dikembangkan oleh Aristoteles, sedangkan realisme religius terutama Scholastisisme oleh
Thomas Aquinas. Aristoteles
membahas teologi gereja dengan menggunakan filsafat. Thomas Aquinas menciptakan
filsafat baru dalam agama Kristen, yang disebut Tomisme, pada saat filsafat
gereja dikuasai oleh Neoplatonisme yang dipelopori oleh Plotinus.
Realisme
Klasik maupun realisme religius menyetujui bahwa dunia materi adalah nyata, dan
berada di luar pikiran (ide) yang mengamatinya. Tetapi sebaliknya, Tomisme
berpandangan bahwa materi dan jiwa diciptakan oleh Tuhan, dan
jiwa lebih penting daripada materi karena Tuhan adalah
rohani yang sempurna. Tomisme juga mengungkapkan bahwa manusia merupakan suatu
perpaduan atau kesatuan materi dan rohani, dimana badan dan roh menjadi satu.
Manusia bebas dan bertanggung jawab untuk bertindak, namun manusia juga abadi
lahir ke dunia untuk mencintai dan mengasihi pencipta, karena itu manusia
mencari kebahagiaan abadi.
a. Realisme Klasik
Realisme
klasik oleh Brubacher (1950) disebut humanisme rasional. Realisme klasik
berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki rasional. Dunia dikenal
melalui akal, dimulai dengan prinsip “self
evident”, dimana manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident merupakan hal yang penting
dalam filsafat realisme karena evidensi merupakan asas pembuktian tentang
realitas dan kebenaran. Self evident
merupakan suatu bukti yang ada pada diri (realitas, eksistensi) itu sendiri.
Jadi, bukti tersebut bukan pada materi atau pada realitas yang lain. Self evident merupakan asas untuk mengerti
kebenaran dan sekaligus untuk membuktikan kebenaran. Self evident merupakan asas bagi pengetahuan artinya bahwa
pengetahuan yang benar buktinya ada didalam pengetahuan atau kebenaran
pengetahuan itu sendiri.
Pengetahuan
tentang Tuhan, sifat-sifat Tuhan,
eksistensi Tuhan, adalah bersifat self evident. Artinya, bahwa adanya Tuhan
tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain, sebab Tuhan itu self evident.
Sifat Tuhan itu
Esa, artinya Esa hanya dimiliki oleh Tuhan, tidak ada yang menyamainya terhadap
sifat Tuhan tersebut. Eksistensi Tuhan merupakan prima kausa, penyebab pertama
dan utama dari segala yang ada, yakni merupakan penyebab dari realitas alam
semesta.
Tujuan
pendidikan bersifat intelektual. Memperhatikan intelektual adalah penting,
bukan saja sebagai tujuan, melainkan dipergunakan sebagai alat untuk memecahkan
masalah. Bahan
pendidikan yang esensial bagi aliran ini, yaitu pengalaman manusia. Yang
esensial adalah apa yang merupakan penyatuan dan pengulangan dari pengalaman
manusia. Kneller (1971) mengemukakan bahwa realisme klasik bertujuan agar anak
menjadi manusia bijaksana, yaitu seseorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik
terhadap lingkungan fisik dan sosial.
Menurut
Aristoteles, terdapat aturan moral universal yang diperoleh dengan akal dan
mengikat manusia sebagai makhluk rasional. Di sekolah lebih menekankan
perhatiannya pada mata pelajaran (subject
matter), namun selain itu, sekolah harus
menghasilkan individu-individu yang sempurna. Menurut pandangan Aristoteles,
manusia sempurna adalah manusia moderat yang mengambil jalan tengah. Pada anak
harus diajarkan ukuran moral absolut dan universal, sebab apa yang dikatakan
baik atau benar adalah untuk keseluruhan umat manusia, bukan hanya untuk suatu
ras atau suatu kelompok masyarakat tertentu. Hal ini penting bagi anak untuk
mendapatkan kebiasaan baik. Kebaikan tidak datang dengan sendirinya, melainkan
harus dipelajari.
b. Realisme Religius
Realisme
religius dalam pandangannya tampak dualisme. Ia berpendapat bahwa terdapat dua
order yang terdiri atas “order natural” dan “order supernatural”. Kedua order
tersebut berpusat pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta semesta alam dan abadi.
Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri, guna mencapai yang
abadi. Kemajuan diukur sesuai dengan yang abadi tersebut yang mengambil tempat
dalam alam. Hakikat kebenaran dan kebaikan memiliki makna dalam pandangan
filsafat ini. Kebenaran bukan dibuat, melainkan sudah ditentukan, di mana
belajar harus mencerminkan kebenaran tersebut.
Menurut
pandangan aliran ini, struktur sosial berakar pada aristokrasi dan
demokrasi. Letak aristokrasinya adalah pada cara meletakkan
kekuasaan pada yang lebih tahu dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasinya
berarti bahwa setiap orang diberi kesempatan yang luas untuk memegang setiap
jabatan dalam struktur masyarakat. Hubungan antara gereja dan negara adalah
menjaga fundamental dasar dualisme antara order natural dan order supernatural.
Minat negara terhadap pendidikan bersifat natural, karena negara memiliki
kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan gereja. Moral pendidikan berpusat
pada ajaran agama. Pendidikan agama sebagai pedoman bagi anak untuk mencapai
Tuhan dan akhirat.
Menurut
realisme religius, karena keteraturan dan keharmonisan alam semesta sebagai
ciptaan Tuhan, maka manusia harus mempelajari alam sebagai ciptaan Tuhan.
Tujuan utama pendidikan mempersiapkan individu untuk dunia dan akhirat. Tujuan
pendidikan adalah mendorong siswa memiliki keseimbangan intelektual yang baik,
bukan semata-mata penyesuaian terhadap lingkungan fisik dan sosial saja.
William Mc Gucken (Brubacher, 1950), seorang pengikut Aristoteles dan Thomas
Aquinas yang
berakar pada metafisika dan epistemologi, membicarakan pula natural dan supernatural. Tujuan pendidikan adalah keselamatan atau kebahagiaan
jasmani dan rohani sekaligus. Anak yang
lahir pada dasarnya rohaninya dalam keadaan baik, penuh rahmat, diisi dengan
nilai-nilai ketuhanan. Anak akan menerima kebaikan dan menjauhi kejahatan bukan
hanya karena perintah akal, melainkan juga karena perintah Tuhan.
Johan Amos
Comenius merupakan pemikir pendidikan yang dapat digolongkan pada realisme
religius, mengemukakan bahwa semua manusia harus berusaha untuk mencapai dua
tujuan. Pertama, keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi. Kedua, keadaan
dan kehidupan dunia yang sejahtera dan damai. Tujuan pertama merupakan tujuan
yang inheren dalam diri manusia, dimana
tujuannya terletak di luar hidup ini. Pada tujuan yang kedua, Comenius
tampaknya memandang kebahagiaan dan perdamaian dunia merupakan sebagian dari
kebahagiaan hidup yang abadi.
2. Realisme Natural Ilmiah
Realisme natural ilmiah mengatakan
bahwa manusia adalah organisme biologis dengan sistem saraf yang kompleks dan
secara inheren pembawaan sosial
(social dispossition). Apa yang dinamakan berfikir merupakan fungsi yang sangat
kompleks dari organisme yang berhubungan dengan lingkungannya. Kebanyakan
penganut realisme natural menolak eksistensi kemauan bebas (free will). Mereka
bersilang pendapat dalam hal bahwa individu ditentukan oleh akibat lingkungan
fisik dan sosial dalam struktur genetiknya. Apa yang tampaknya bebas memilih,
kenyataannya merupakan suatu determinasi
kausal (ketentuan sebab akibat).
3. Neo Realisme dan Realisme Kritis
Selain aliran-aliran realisme, masih
ada lagi pandangan lain yang
termasuk realisme. Aliran tersebut disebut “Neo
Realisme” dari Frederick Breed, dan “Realisme
Kritis” dari Imanuel Kant. Menurut pandangan Breed, filsafat pendidikan
hendaknya harmoni dengan prinsip demokrasi. Prinsip pertama demokrasi adalah
hormat menghormati atas hak-hak individu. Pendidikan sebagai pertumbuhan harus
diartikan sebagai menerima arah tuntunan sosial dan individu. Istilah demokrasi
harus di definisikan sebagai pengawasan dan kesejahteraan sosial.
Realisme kritis di dasarkan atas
pemikiran Imanuel Kant, seorang pensistensis yang besar. Ia mensistensiskan
pandangan yang berbeda antara empirisme dan rasionalisme, antara skeptisisme
dan paham kepastian antara eudaemonisme dengan puritanisme. Ia bukan melakukan
elektisisme yang
dangkal, melainkan suatu sintesis asli yang menolak kekurangan yang berada pada
kedua pihak yang disintesiskannya, dan
ia membangun filsafat yang kuat.
Menurut Kant, semua pengetahuan
mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semuanya dari pengalaman. Objek luar
dikenal melalui indra namun pikiran atau rasio dan pengertian yang diperoleh
dari pengalaman tersebut. Aliran
filsafat realisme berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang
baik dan tepat dari kebenaran.
2.3 Konsep Filsafat Menurut Aliran Realisme
1. Metafisika-Realisme
Menurut metafisika-realisme bahwa kenyataan yang sebenarnya
hanyalah kenyataan fisik (materialisme), kenyataan
material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai
kenyataan (pluralisme). Metafisika
realitas merupakan sisi lain idealisme. Jika
ontologis idealisme selalu
merujuk bahwa yang ada adalah yang ideal atau sesuatu yang ada dan bisa
difikirkan, sebaliknya realisme justru meyakini bahwa yang ada adalah sesuatu
yang bisa teramati oleh indra.
Dalam
pandangan tersebut realisme menjadikan
indra atau pengamatan sebagai instrumen atau epistemologi dalam
memperoleh pengetahuan serta kebenaran. Para realis termasuk Bacon, memandang
bahwa ilmu pengetahuan bukanlah suatu titik tempat bertolak dan mengambil
kesimpulan darinya, melainkan ilmu pengetahuan sesuatu tempat sampai ketujuan.
Untuk memahami dunia, orang harus
“mengamati”. Kemudian mengumpulkan fakta, lalu membuat kesimpulan berdasarkan kepada
fakta-fakta itu dengan cara membuat argumentasi induktif yang logis.
Di sini bagi
seorang realis, akal memiliki ide tentang sesuatu hal. Akan tetapi, jika ia
tidak bisa teramati oleh indra, sesuatu itu
bukanlah sesuatu yang
ada. W.E Hocking dengan nada sarkastiknya
membuat pernyataan, betapa sebagai watak umum dari akal, realisme adalah sebuah
kecenderungan untuk menjaga diri dan preferensi hidup agar seseorang tidak
mencampuri keputusan tentang
segala sesuatu dan membiarkan objek-objek berbicara untuk dirinya.
2. Humanologi-Realisme
Menurut humanologi-realisme bahwa hakekat manusia terletak pada apa
yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan
sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir.
3. Epistemologi-Realisme
Menurut epistemologi-realisme bahwa kenyataan hadir dengan sendirinya
tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat
diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran
pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta.
Realisme
berpandangan bahwa mengetahui itu sama artinya dengan memiliki pengetahuan
tentang suatu objek. Kognisi atau hasil mengetahui itu melibatkan interaksi
antara pikiran manusia dan dunia di luar pikiran manusia. Bagi kaum
realis, mengetahui adalah dua buah sisi proses yang melibatkan sensasi dan
abstraksi. Proses ini sesuai dengan konsep realis tentang alam raya yang
dualistik, tersusun
atas materi dan struktur (komponen dan forma). Bila sensasi diperkenalkan
dengan objek dan
memberi kita informasi tentang aspek material dari objek ini dan
kemudian data masuk ke dalam pikiran kita seperti data yang masuk ke dalam program komputer. Ketika masuk kedalam pikiran data sensor ini dipilih,
digolongkan dan didaftar. Melalui sesuatu proses abstraksi, akal
sehat merangkai data dalam dua kategori besar, yaitu sebagai
sesuatu yang harus ada yang selalu ditemukan dalam sebuah objek dan yang
lainnya bersifat kontingen atau kadang-kadang ditemukan dalam sebuah objek.
Yang selalu hadir itulah yang harus ada atau esensial bagi objek, disebut sebagai bentuk atau struktur. Bentuk adalah objek tepat dari abstraksi.
Dengan
pendapatnya ini juga, epistemologi kaum
realisme disebut juga epistemologi
“teori pengamat” artinya manusia sebagai pengamat kenyataan. Karena manusia biasanya terlibat dalam proses mengetahui yang melibatkan sensasi dan
abstraksi, “pengamatan” dapat berkisar dari hal-hal yang
paling kasar sampai pengumpulan data yang menggunakan cara-cara terlatih serta
tepat akurat. Melalui perjalanan waktu, manusia
telah mengembangkan alat paling canggih seperti teleskop, mikroskop,
dan lain lain.
4. Aksiologi-Realisme
Menurut
aksiologi-realisme bahwa tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang
diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh
kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
2.4 Filsafat Pendidikan Realisme
Pendidikan
dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John Locke bahwa
akal, pikiran, dan jiwa manusia tidak lain adalah tabularasa, ruang kosong tak ubahnya kertas
putih kemudian menerima impresi dari lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan
dipandang dibutuhkan karena untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi
sesuai dengan apa yang dipandang baik. Dengan demikian, pendidikan dalam realisme
kerap diidentikkan sebagai upaya
pelaksanaan psikologi behaviorisme ke dalam ruang pengajaran.
Murid adalah
sosok yang mengalami inferiorisasi secara berlebih sebab ia dipandang sama
sekali tidak mengetahui apapun kecuali apa-apa yang telah pendidikan berikan.
Disini dalam pengajaran setiap siswa atau subjek
didik tak berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk dan takluk sepatuh-patuhnya untuk
diprogram dan mengerti materi-materi yang telah ditetapkan sedemikian rupa.
Pada ujung
pendidikan, realisme memiliki proyeksi ketika manusia akan dibentuk untuk hidup
dalam nilai-nilai yang telah menjadi common
sense sehingga mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan-lingkungan yang
ada. Sisi buruk pendidikan model ini kemudian cenderung lebih banyak
dikendalikan skeptisisme positivistik, ketika mereka dalam hal apa pun akan
meminta bukti dalam bentuk-bentuk yang bisa didemonstrasikan secara indrawi.
Realisme
memiliki jasa bagi perkembangan dunia pendidikan. Salah satunya adalah dengan
temuan gagasan Crezh, salah seorang pendidik di Mosenius pada abad ke-17 dengan
karya Orbic Pictusnya. Pada periode itu, temuan Orbic Pictus sempat mengejutkan
dunia pendidikan dan dipandang sebagai gagasan baru. Ini disebabkan oleh dalam periode tersebut belum ada satupun yang memiliki pemikiran untuk memasukkan
alat bantu visual seperti
gambar-gambar, perlu
digunakan dalam pengajaran anak,
terutama dalam mempelajari bahasa. Diabad selanjutnya, yaitu ke-18 menjelang
abad 19, gagasan Moravi ini menginspirasi seorang pestalozzi. Ia menghadirkan
objek-objek peraga fisik dalam ruang pengajaran di dalam kelas.
Comenius dalam bukunya “Didacita
Magna” (Didaktik besar), dan “Orbis
Sensualium Pictus” (Dunia panca indera dengan gambar-gambar) merupakan
peletak dasar didaktik modern. Ia mengubah cara berfikir anak yang deduktif
spekulatif dengan cara berfikir induktif, yang merupakan metode berfikir
ilmiah. Peragaan merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar,
sehingga ia dijuluki sebagai Bapak keperagaan dalam belajar mengajar. Beberapa
prinsip mengajar yang dikemukakan oleh Comenius (Sadulloh,2003) adalah sebagai berikut :
1. Pelajaran
harus didasarkan pada minat peserta
didik. Keberhasilan
dalam belajar tidak karena dipaksakan dari luar, melainkan merupakan suatu
hasil perkembangan pribadinya.
2. Setiap mata pelajaran harus
memiliki out-line atau garis besar proses belajar mengajar, silabus, dan
rencana pembelajaran, dan sudah ada pada awal pembelajaran.
3. Pada pertemuan awal atau
permulaan pembelajaran, guru harus menyiapkan dan menyampaikan informasi
tentang garis-garis besar pembelajaran yang akan dipelajari peserta didik.
4. Kelas harus
diisi dengan gambar-gambar, peta, motto, dan sejenisnya yang berkaitan dengan
rencana pelajaran yang akan diberikan.
5. Pembelajaran harus
berlangsung secara sikuens atau berkesinambungan dengan pelajaran sebelumnya
sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh dan mengikuti perkembangan
pengetahuan secara terus menerus.
6. Setiap aktivitas yang
dilakukan guru bersama peserta didik hendaknya membantu untuk pengembangan
hakikat manusia, dan kepada peserta didik ditunjukkan kepentingan yang praktis
dari setiap sistem nilai.
7. Pelajaran
dalam subjek yang sama diperuntukkan bagi semua peserta didik.
Corak lain
pendidikan realisme adalah tekanan-tekanan hidup yang terarah kedalam
pengaturan-pengaturan serta keteraturan yang bersifat mekanistik. Meskipun
tidak semua pengaturan yang bersifat mekanistik buruk, apa yang diterapkan
realisme dalam ruang pendidikan melahirkan berbagai hal yang kemudian menuai
banyak kecaman sebab telah menjadi penyebab berbagai dehumanisasi.
Dalam
hubungan filsafat aliran
realisme
dengan pendidikan yaitu
pendidikan harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling
rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling
rendah, peserta didik
akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada
semua orang. Oleh karena itu metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam.
Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, dimana ia dapat mencapainya.
Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya
ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan.
Inisiatif
dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik. Materi atau
bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada
minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang paling penting bagi
pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan
kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi kepuasan
terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat dalam mencapai
tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.
Realisme dalam Pendidikan (Purnawan :2009 : 24) yaitu sebagai berikut :
1. Pendidikan
sebagai Institusi Sosial
John Amos Comenius di dalam bukunya Great Didactic, mengatakan bahwa manusia
tidak diciptakan hanya kelahiran biologinya saja. Jika ia menjadi seorang
manusia, budaya manusia harus memberi arah dan wujud kepada kemampuan dasarnya.
Dalam bukunya
Membangun Filsafat Pendidikan, Harry
Broudy secara eksplisit menekankan bahwa masyarakat mempunyai hak dengan
mengabaikan keterlibatan pemerintah, yang akan membawa pendidikan formal di
bawah wilayah hukumnya karena ini merupakan suatu lembaga atau institusi
sosial. Implikasinya
yaitu pendidikan adalah kebutuhan dasar
dan hak yang mendasar bagi manusia dan kewajiban penting bagi semua masyarakat
untuk memastikan bahwa semua anak-anak dilahirkan dengan pendidikan yang baik.
2. Siswa
Guru adalah
pengelola KBM di dalam kelas (classroom is teacher-centered), guru
penentu materi pelajaran, guru harus menggunakan minat peserta didik yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan membuat
mata pelajaran sebagai sesuatu yang konkret untuk dialami peserta didik. Peserta
didik berperan
untuk menguasai pengetahuan yang diandalkan, peserta didik harus taat pada aturan dan disiplin, sebab aturan yang
baik sangat diperlukan untuk belajar. Peserta
didik memperoleh
disiplin melalui ganjaran dan prestasi.
3. Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan realisme adalah untuk penyesuaian diri dalam hidup dan mampu
melaksanakan tanggung jawab sosial. Pendidikan
bertujuan agar peserta didik dapat
bertahan hidup di dunia yang bersifat alamiah, memperoleh keamanan dan hidup
bahagia, dengan jalan memberikan pengetahuan esensial kepada peserta didik. Pengetahuan tersebut akan memberikan
keterampilan-keterampilan yang penting untuk memperoleh keamanan dan hidup
bahagia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas
secara dualitas.
2.
Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah
terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani.
3.
Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu
subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak, dan di pihak lainnya adalah
adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan
manusia.
4.
Realisme berarti beralihnya perhatian dari
pelajaran-pelajaran tentang manusia kepada realita (kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan alam).
5.
Ada beberapa
bentuk aliran realisme yaitu realisme rasional, realisme natural ilmiah, neo
realisme dan realisme kritis.
6.
Konsep
filsafat menurut aliran realisme yaitu metafisika-realisme, humanologi-realisme, epistemologi-realisme, aksiologi-realisme.
7.
Pendidikan menurut aliran filsafat
realisme menekankan pada pembentukan peserta didik agar mampu melaksanakan
tanggung jawab sosial dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dengan cara diadakannya pendidikan yang
ketat dan sistematis dengan dukungan kurikulum yang komprehensif dan kegiatan
belajar yang teratur di bawah arahan tenaga pendidik.
8.
Pendidikan dalam realisme kerap diidentikkan sebagai
upaya pelaksanaan psikologi behaviorisme ke dalam ruang pengajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib,
Imam. 1990. Filsafat Pendidikan Sistem
dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Purba, Edward dan Yusnadi. 2015. Filsafat
Pendidikan. Medan: Unimed Press
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar
filsafat pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta.
sabung ayam life pusat taruhan s1288 online terdepan
ReplyDeleteDaftar >> Deposit >> Withdraw Sekarang Juga bolavita1.com
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
Telegram : +62812-2222-995 / https://t.me/bolavita
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita